Selayang Pandang
Hukuman Mati
Ketika hukuman mati dipertaruhkan, tapi digunakan hanya agar dendam
terbalaskan. Ketika kekejian dipertontonkan untuk kematian orang agar setimpal
dan semua terpuaskan. Ketika pengampunan tak lagi diperhitungkan agar impas dan
jera tanpa belas kasihan.
Benarkah dua tahap eksekusi hukuman mati yang sudah sejalan dengan kedaulatan negara yang diserukan sebagai pembelaan? Masyarakat seolah satu suara mendukung keputusan pemimpin negara kita. Media menyerukan keputusan ini yang benar dan harus dilaksanakan. Jeritan para pejuang kemanusiaan seolah lenyap, tertelan dengan dalil keputusan negara yang tidak boleh diintervensi. Pembunuhan dilegalkan demi kedaulatan dan penegakan hukum guna memusnahkan kejahatan narkoba.
Tulisan ini bukan ingin menganggap para terpidana narkoba martir apalagi pahlawan. Tulisan ini juga bukan sepenuhnya mengatakan penolakan grasi tersebut salah dan tidak berperikemanusiaan.
Perbincangan hukuman mati memang tidak akan ada ujungnya jika dijadikan pembahasan. Bentuk hukuman ini sarat kontroversi. Semua yang pro akan menjunjung tinggi bahwa solusi memerangi narkoba adalah dengan penjatuhan hukuman mati. Yang kontra akan berteriak tentang sisi kemanusiaan. Yang pro membalas lagi bahwasanya kedaulatan negara kita tak bisa didikte oleh asing, keputusan negara harus dihargai, korban mati karena narkoba meningkat setiap tahunnya, bandar narkoba harus ‘dibasmi’ serta runutan alasan lainnya yang berujung pada penjatuhan hukuman mati adalah solusi yang paling tepat. Opini masyarakat hampir bulat satu suara yakni menyetujui hukuman mati.
Eksekusi hukuman mati tahap ketiga di negeri ini akan berjalan. Setiap proses yang sudah berlalu di evaluasi. Berbagai pertimbangan dan masukan tentunya sudah dipikirkan para penegak hukum kita. Melihat reaksi negara-negara seluruh dunia yang begitu bergejolak, memohon kepada pemimpin negara kita agar menghentikan eksekusi mati kepada para warga negaranya. Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia, Perdana Menteri Australia Tony Abbot menyurati Presiden Joko Widodo agar menunda eksekusi mati walaupun berakhir gagal. Kedua WN Australia dalam kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dihukum mati. Tidak hanya itu, wakil Presiden Komisi Eropa Federica Mogherini juga turut menyesalkan eksekusi mati di Indonesia. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Withschel meminta Indonesia menghentikan eksekusi karena menilai langkah itu tidak efektif dalam menurunkan kejahatan narkotik. Negara-negara berusaha menyelamatkan warga negaranya, melakukan segala cara, dari membujuk Presiden, mengingat kembali bantuan sosial, barter tahanan, Lalu apa keputusan Presiden? Keputusan untuk tetap dihukum mati tidak dapat diganggu gugat. Salah satu terpidana dr Filipina, Mary Jane Veloso, mendapat penundaan karena diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan narkoba miliknya adalah hasil penyelundupan sehingga kasusnya harus diungkap terlebih dahulu.
Benarkah dua tahap eksekusi hukuman mati yang sudah sejalan dengan kedaulatan negara yang diserukan sebagai pembelaan? Masyarakat seolah satu suara mendukung keputusan pemimpin negara kita. Media menyerukan keputusan ini yang benar dan harus dilaksanakan. Jeritan para pejuang kemanusiaan seolah lenyap, tertelan dengan dalil keputusan negara yang tidak boleh diintervensi. Pembunuhan dilegalkan demi kedaulatan dan penegakan hukum guna memusnahkan kejahatan narkoba.
Tulisan ini bukan ingin menganggap para terpidana narkoba martir apalagi pahlawan. Tulisan ini juga bukan sepenuhnya mengatakan penolakan grasi tersebut salah dan tidak berperikemanusiaan.
Perbincangan hukuman mati memang tidak akan ada ujungnya jika dijadikan pembahasan. Bentuk hukuman ini sarat kontroversi. Semua yang pro akan menjunjung tinggi bahwa solusi memerangi narkoba adalah dengan penjatuhan hukuman mati. Yang kontra akan berteriak tentang sisi kemanusiaan. Yang pro membalas lagi bahwasanya kedaulatan negara kita tak bisa didikte oleh asing, keputusan negara harus dihargai, korban mati karena narkoba meningkat setiap tahunnya, bandar narkoba harus ‘dibasmi’ serta runutan alasan lainnya yang berujung pada penjatuhan hukuman mati adalah solusi yang paling tepat. Opini masyarakat hampir bulat satu suara yakni menyetujui hukuman mati.
Eksekusi hukuman mati tahap ketiga di negeri ini akan berjalan. Setiap proses yang sudah berlalu di evaluasi. Berbagai pertimbangan dan masukan tentunya sudah dipikirkan para penegak hukum kita. Melihat reaksi negara-negara seluruh dunia yang begitu bergejolak, memohon kepada pemimpin negara kita agar menghentikan eksekusi mati kepada para warga negaranya. Brasil dan Belanda menarik duta besarnya dari Indonesia, Perdana Menteri Australia Tony Abbot menyurati Presiden Joko Widodo agar menunda eksekusi mati walaupun berakhir gagal. Kedua WN Australia dalam kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dihukum mati. Tidak hanya itu, wakil Presiden Komisi Eropa Federica Mogherini juga turut menyesalkan eksekusi mati di Indonesia. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Withschel meminta Indonesia menghentikan eksekusi karena menilai langkah itu tidak efektif dalam menurunkan kejahatan narkotik. Negara-negara berusaha menyelamatkan warga negaranya, melakukan segala cara, dari membujuk Presiden, mengingat kembali bantuan sosial, barter tahanan, Lalu apa keputusan Presiden? Keputusan untuk tetap dihukum mati tidak dapat diganggu gugat. Salah satu terpidana dr Filipina, Mary Jane Veloso, mendapat penundaan karena diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dan narkoba miliknya adalah hasil penyelundupan sehingga kasusnya harus diungkap terlebih dahulu.
Lihat reaksi dunia sedemikian besarnya terhadap Indonesia,
benarkah keputusan ini sungguh memberi efek jera. Pandangan keji seolah sekarang
lekat dengan negara kita, lantas apa yang harus kita lakukan? Negara kita
menjadi sorotan di saat beberapa negara sudah menghapus hukuman mati di
negaranya. Namun, 55 negara lain, menurut Laporan Amnesty International, termasuk Indonesia masih menerapkannya. Hal
ini juga akan berdampak pada ratusan WNI yang terancam hukuman mati akibat
kasus narkotika, kejahatan menghilangkan nyawa, atau lainnya.
Hukuman mati itu sendiri sudah ada sejak abad ke-18 SM sejak zaman Raja Hammurabi dari Babilonia, ketika Raja membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal. Pada abad ke 16 SM di Mesir, juga tercatat bahwa Mesir memberlakukan hukuman mati itu kepada bangsawan yang dituduh melakukan kegiatan perdukunan. Hukuman mati zaman dahulu kerap menjadi tontonan bagi masyarakat dan dirayakan dengan pesta pora. Bagaimana sejarahnya hukuman itu muncul, bagi penulis hukuman mati yang diberlakukan tidak memiliki pengaruh pada menurunnya angka kejahatan.
Hak Hidup
Tidak Dapat Dibatasi dalam Hal Apapun Juga
Konstitusi negara Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa hak hidup harus dijunjung tinggi. Dalam Pasal 28 A UUD 1945, “Setiap orang berhak atas hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Hak hidup merupakan hak dasar tertinggi manusia.
Konstitusi negara Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa hak hidup harus dijunjung tinggi. Dalam Pasal 28 A UUD 1945, “Setiap orang berhak atas hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Hak hidup merupakan hak dasar tertinggi manusia.
Hak hidup juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional mengenai Hak-hak
Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No 12 tahun 2005,
Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui UU No 5 tahun
1998. Baik aturan nasional maupun internasional, semuanya kerap menegaskan
bahwa hak
hidup manusia tidak boleh dirampas atau dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Hukuman mati juga bertentangan dengan Pancasila sila
kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara hukum (rechtstaat). Semua tindakan individu dan institusi tidak
bisa dilepaskan dari aturan dan hukum yang mengikat warga negara. Hal ini
sejalan dengan opini Masdar Hilmy, dosen dan pemerhati hukum dan demokrasi,
menulis dalam harian Kompas, konstitusi tidak dapat memuaskan semua orang. Tapi
harus dapat melindungi kepentingan sebanyak mungkin warga negara. Maka,
masyarakat harus mendapat pengayoman dari aturan tersebut sekalipun kebutuhan semua orang tidak semuanya
dapat dipuaskan.
Korban narkoba di Indonesia meningkat setiap
tahunnya, memang sedemikian mengerikannya, terlebih bagi generasi muda. Maka,
semua berseru hukuman mati harus diberlakukan agar semuanya setimpal dengan
nasib korban itu.
Hukuman harusnya dijatuhkan tidak hanya kurir
tetapi juga bandar narkoba itu sendiri. Sudah adilkah hukuman yang dijatuhkan
pada para terpidana yang telah dihukum mati? Keadilan memang relatif. Bagi para penegak hukum dan disetujui oleh
sebagian besar rakyat Indonesia, perbuatan menawarkan untuk dijual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima
narkotika yang memang dalam Undang-Undang Narkotika hukuman terberatnya adalah
hukuman mati. Tapi benarkah, hukuman itu yang paling adil?
Membalas nyawa yang melayang dengan nyawa juga. Prosedur pidana dianggap
sempurna tanpa salah. Apakah tidak ada
yang salah pada proses penyelesaian kasus? Apakah benar semuanya sudah
sempurna?
Hal ini menjadi batu sandungan, proseduralisme hukum yang positivistik
dan mengabaikan rasa keadilan. Hukum kaku kalau mengingat filsuf Hart
mengatakan tentang positivisme hukum, dimana aturan harus dijunjung tinggi,
namun akhirnya lupa bahwa ada hal-hal lain dari tujuan diciptakannya hukum itu.
Dari ajaran mengenai moral, kita menuju pada 3 titik pandang.
Pandangan dalam Moral
Pandangan baik dan buruk dapat diartikan demikian. Baik
berarti selaras dengan penegakan martabat manusia, jahat berarti sebaliknya
yakni tak selaras dengan martabat manusia. Baik buruk dalam moral didekati
lewat berbagai titik tolak.
Deontologis yakni proses pertimbangan moral yang bertitik
tolak dari norma atau hukum, atau esensi persoalannya. Kekuatannya, kita bisa
dengan cepat mengambil keputusan. Namun, jika hanya bertitik tolak dengan
norma, kita bisa jatuh dalam formalisme moral. Berbeda dengan deontologis,
teleologis memandang proses pertimbangan moral yang bertitik tolak dari tujuan
yang baik. Kekuatannya, keputusan kita terarah jelas, namun demi sesuatu yang
baik, kita bisa terjebak dalam penghalalan segala cara. Relasional melihat
proses pertimbangan moral yang bertitik tolak pada sebab dan akibatnya, dampak
bagi orang lain. Kekuatannya pendekatan ini terbuka terhadap situasi baru dan
fleksibel. Namun, begitu fleksibelnya kita bisa jatuh pada relativisme moral.
Mengapa? Karena baik itu menjadi relatif, tergantung situasinya. Maka ini
disebut pula moral situasional.
Untuk mengambil sebuah keputusan, perlu pendekatan
ketiganya, tidak dapat hanya satu saja yang dipakai. Maka penjatuhan hukuman
mati tidak bisa hanya bertitik tolak pada norma/hukum yang dalam hal ini UU
Narkotika dengan hukuman maksimal hukuman mati, dipilih agar jera dan membalas
karena melihat rakyat kita yang terjerat narkoba sedemikian hebatnya. Akhirnya,
tidak ada pertimbangan moral. Padahal sangat dimungkinkan orang tersebut hanya
kurir atau barang tersebut diselundupkan padanya. Proses penyidikan hingga
pengadilan yang menentukan.
Proses Peradilan Jauh
Dari Sempurna
Kenyataannya, sistem peradilan
pidana kita masih rapuh. Rekayasa kasus masih terjadi, polisi seringkali hanya
kejar target (wrongful conviction).
Hukum acara yang dipakai dalam memproses terpidana masih lemah. Kebutuhan atas
suatu proses peradilan: bantuan hukum, ketersediaan advokat dan penerjemah bagi
yang tidak dapat berbahasa Indonesia seperti yang terjadi kepada salah satu
terpidana asal Filipina. Apakah itu adil? Penelitian ELSAM, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, juga mengatakan kurangnya kontrol peradilan yang efektif,
tidak ada mekanisme banding yang efektif, dan hal-hal lain yang masih jauh dari
sempurna. Kalau memakai pendapat filsuf Hart,
hukum bisa dikatakan adil jika kompensasi yang diberikan sesuai dengan kerugian
yang dibuat. Bisa saja terjadi hukum yang tidak adil dilaksanakan secara adil.
Apakah yang demikian bisa dikatakan adil? Lain halnya dengan Dworkin, konsepsinya tentang keadilan
yakni terjadinya keseimbangan antara nilai-nilai yang tertuang dalam sistem
hukum. Segala aspek harus diperhatikan.
Lalu sebenarnya apa tujuan eksekusi
ini jika agar ada balasan yang setimpal? Apakah tujuannya untuk membalas
dendam? Pemberlakuan pidana mati jika hanya mengarah pada aspek balas dendam (retributive), hal ini bertentangan
dengan semangat arah penegakan hukum pidana kita yang mengarah pada keadilan
restoratif (restorative justice). Hal
ini menjadi kontroversi dimana keadilan
“gigi ganti gigi dan mata ganti mata” menghukum orang sesuai perbuatannya,
tidak kurang dan tidak lebih, tidak selaras dengan semangat restorative justice yang menjadi
semangat penegakan hukum pidana negara kita. Hukum sejak 3000 tahun lalu itu
jika diterapkan bangsa kita seolah membuat bangsa kita menjadi negeri yang
barbar, dan tidak sejalan dengan sila dalam dasar negara kita “Kemanusiaan yang
adil dan beradab”. Pembelaannya semua telah dilakukan melalui proses dan
keputusan hukum yang adil dan benar.
Di sisi lain, kalau memang
kebijakan eksekusi mati ini tujuannya membuat efek jera itu sendiri, seharusnya
yang dikenakan adalah bandar besar dan berbahaya contoh kasus seperti Freddy
Budiman, bukan kaki tangan, sekedar pembawa dan bukan aktor utama termasuk di
dalamnya Mary Jane, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran. Pada akhirnya, keadilan
akan selalu relatif, tergantung pada subjeknya. Adil buat satu orang belum
tentu memberi keadilan pada yang lain.
Peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar
menyatakan bahwa tidak pernah ada penelitian yang membuktikan bahwa hukuman
mati bagi terpidana narkoba bisa memberi efek jera. Survey komprehensif dari
PBB tahun 1998 juga menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukkan
bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman
penjara seumur hidup.
Katekismus
Gereja Katolik dan Evangelium Vitae
Gereja Katolik sejatinya tidak mendukung hukuman mati. Dalam Katekismus
Gereja Katolik KGK 2266 tertulis bahwa: “Pembelaan kesejahteraan umum
masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian. Karena
alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan
kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan hukuman yang setimpal
dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam
kejadian-kejadian yang serius …” Artinya, hukuman ini diperbolehkan, hanya saja
hukuman mati dapat diberlakukan dalam kasus-kasus yang tingkat kejahatannya
“tinggi”. KGK 2267 mendukung bahwa apabila terdapat cara yang lebih menjunjung
tinggi rasa kemanusiaan, cara-cara lain akan dipilih. Maka, bagi penulis, aktor
utama narkotika, atau koruptor kelas tinggi bisa jadi adil jika dijatuhkan
hukuman mati. Tapi jika ada jalan lain yang lebih manusiawi yang ditempuh,
hukuman mati bukanlah pilihan.Terlebih jika tujuan hukuman mati ini hanya untuk
melampiaskan dendam. KGK yang diambil dari ensiklik Paus Yohanes Paulus II Evangelium Vitae menambahkan bahwa jenis
dan tingkat hukuman harus dengan hati-hati dievaluasi dan diputuskan, dan tidak
boleh dilaksanakan sampai ekstrim dengan pembunuhan narapidana, kecuali dalam kasus
keharusan yang absolut, ketika sudah tidak mungkin lagi untuk melaksanakan hal
lain untuk membela masyarakat luas.
Penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih atau
diskriminatif. Mereka yang punya kekuasaan atau dekat dengan penguasa mendapat
perlindungan dan tidak dilanjutkan kasusnya. Orang lanjut usia dihukum begitu
mengenaskan, sementara koruptor mendapat hukuman ringan. Jika masih ada ketidak
adilan ini, bagaimana mungkin eksekusi mati dilakukan oleh mereka tanpa proses
peradilan yang kita tidak bisa jamin kebenarannya. Pada akhirnya, kebenaran itu
relatif. Begitu juga dengan keadilan.
Hukuman mati harus dijalankan tanpa ingin membalas dendam,
tapi memang dijalankan apabila seluruh proses sudah dipenuhi tanpa kurang suatu
apapun. Tapi sesempurna apapun proses itu, manusia tak luput dari kesalahan.
Jangan menyamakan persepsi memusnahkan narkoba dengan membunuh. Maka, bagi
penulis sendiri, negara tidak memiliki hak untuk membenarkan pembunuhan
terhadap seseorang. Persoalan hukuman mati adalah hak Tuhan, bukan manusia
apalagi negara.
Apakah proses hukum juga telah memenuhi asas yang menjadi
tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian hukum, kemanfaatan, perlindungan
hukum? Mungkin di satu sisi kepastian hukum terpenuhi, tapi apakah bermanfaat
dan melindungi? Tanpa moral, hukum akan menjadi alat yang mengatur tanpa
melihat sisi keadilan. Sekalipun filsuf Hart
memandang perlu ada pemisahan hukum dan moralitas yang menjadi kekhasan posisi
positivisme hukum, berlawan dengan Dwonkin
mengkritik Hart karena konsep hukum Hart tidak memasukkan prinsip-prinsip
moral yang biasanya digunakan hakim dalam proses pengadilan sebagai bagian dari
hukum. Hal ini menetapkan pentingnya
prinsip-prinsip moral dalam keputusan hukum. Prinsip-prinsip moral berkaitan
dengan hak-hak individu.
Romo Frans Magniz Suseno, guru besar di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, dalam opininya di harian Kompas tentang hukuman mati, mengatakan
membunuh orang kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi
adalah tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan
diri kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi
itu. “Vox populi vox Dei “, yang
berarti suara rakyat adalah suara Tuhan, tidak dapat dijadikan pembenaran.
Suara rakyat yang hanya ingin balas dendam dan kebencian bukanlah suara Tuhan.
Suara rakyat luas tidak selalu perbuatan yang benar dan tidak jahat.
Jaksa Agung sekarang tengah mengevaluasi gelombang eksekusi
hukuman mati yang sudah berjalan terhadap
para terpidana. Jadwal ekskusi jilid III belum keluar, namun cepat atau
lambat proses hukum akan berjalan. Negara perlu berbenah terutama dalam
menerapkan sanksi pidana, seringkali hanya dipukul sama rata baik untuk hukuman
mati, penjara atau denda, malas untuk melihat pada tiap kasus ada fakta yang
mungkin berbeda dari kasus sebelumnya. Fakta yang sering terombang-ambing, rancu
ditambah lagi proses Peninjauan Kembali yang membuat ragu Kejaksaan yang akan
mengeksekusi pidana mati beberapa waktu silam. Keraguan itu dipicu karena
Kejaksaan takut perkaranya ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Penegak
hukumnya saja ragu dengan sistem yang mereka jalankan, apalagi masyarakat yang
hanya bisa menyaksikan.
Kurir dan pengedar narkoba memang merupakan bagian dari
sistem pengedaran narkoba yang sedemikian masifnya. Tapi apakah negara kita
sudah berkaca sejenak, apakah kontrol negara untuk melindungi masyarakatnya
sudah maksimal? Apakah negara sudah cukup memberi pendidikan yang layak tentang
bahaya narkotika? Juga bagi pemakai narkotika itu sendiri, apakah cukup menyalahkan
orang lain tanpa berusaha memikirkan orang tua dan sanak keluarga yang hancur
karena anggota keluarganya terkena narkotika. Pemakai narkotika tak luput dari
kesalahan. Kontrol keluarga, perhatian keluarga pada anak-anak mereka juga
menjadi hal-hal yang harus terus dievaluasi.
Penjatuhan hukuman mati di negara ini belum konsisten. Efek
jera tidak akan berhasil jika yang dihukum adalah pengedar level bawah. Aktor
utama kejahatan masih bertebaran. Penegakan hukum yang carut marut, belum jelas
proses administrasinya, apalagi jika Pemerintah menerapkan hanya untuk
pencitraan dalam menunjukkan kedaulatan negara. Kita menjadi saksi eksekusi yang
dampak positifnya masih rendah.
Saya sendiri disini berdiri sebagai rakyat biasa, yang cinta
pada kemanusiaan dan menjunjung tinggi hidup manusia itu sendiri. Apalah kita ini manusia berani menghukum.
Kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Keadilan di dunia memang relatif tetapi
keadilan Tuhan akan selalu hadir pada waktunya. Biarlah negara hidup di dunia
yang penuh kedamaian bukan dasar balas dendam apalagi sampai mati yang
dilegalkan oleh aturan si pemegang kekuasaan. Bukan ikut-ikutan apalagi
mendukung pendapat negara lain terhadap Indonesia, namun kemanusiaan adalah
harga mutlak dan bangsa kita bukan bangsa barbar melainkan bangsa yang beradab,
yang kelak ingin mencapai tujuan dan cita-citanya yang mulia.
MAN
Komentar
Posting Komentar