Langsung ke konten utama

Kala Hujan Di Puncak Merapi



Jumat di pertengahan Maret menghantar kami menuju salah satu ciptaan Tuhan yang tentunya tidak kalah  indah dari ciptaan lainnya di alam semesta ini, yang membentang di bagian tengah Pulau Jawa, sebagian menyebutnya angker, tetapi kami sungguh sudah menantinya, Gunung Merapi, 2930 mdpl.

Kisah kami dimulai dari hari itu, setelah lelah kami bekerja. Bagi saya saat ini, waktu untuk bercengkrama dengan alam sangatlah terbatas. Tidak semudah dahulu setiap bosan bisa pergi ke pantai atau gunung dalam tiap bulan. Sekarang, situasinya berbeda. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan, bukan? Tetaplah ingat betapa berharganya waktu bersama orang-orang yang kita sayangi.

Memasuki sore dengan cuaca cerah, berangkatlah kami dari Stasiun Senen Jakarta menuju Stasiun Solojebres. `Dini hari Sabtu, kami telah tiba di stasiun, menunggu Pak Nardi menjemput kami ke basecamp Merapi di Selo. Teman perjalanan saya dalam pendakian Merapi ini: Yupi, Ismi, Hilmi, Raihan, Bams, Handoyo, dan Oki, teman-teman yang walaupun saya belum mengenal mereka lama, bahkan 2 diantaranya saya baru kenal dalam perjalanan ini, tetapi berjalan bersama mereka adalah sebuah perjalanan yang menyenangkan dan tak akan mungkin saya lupakan. 


Mas Bams, kak Hilmi, Esi, Raihan, mas Handoyo, kak Ismi, kak Yupi, Oki

Pagi menjelang, Solo menyambut dengan manisnya dan ramahnya orang-orang. Karena dekat dengan kampung halaman ayah saya di Salatiga, saya merasa berada di kampung halaman sendiri. Makanan khas Solo, serabi sudah mengisi perut kami yang lapar menuju perjalanan basecamp. 10 (sepuluh) menit sebelum jam 11 (sebelas) siang kami bergegas menyambut indahnya Merapi.

Kami mulai berjalan menyusuri rute pendakian. Kami sampai di gerbang Taman Nasional Merapi jam 12 siang. Yang saya sukai saat naik gunung, selain saya menikmati suasana semesta yang memesona, saya juga belajar tentang praktik-praktik yang selama ini saya pelajari saat mempelajari Hukum Kehutanan, Lingkungan, sumber daya alam, dan sebagainya terutama tentang taman nasional, aturan pidana di dalam berbagai undang-undang, tentang perburuan, pidana kehutanan, atau menyentuh etika lingkungan.  Senangnya naik gunung dan bertemu di alam, belajar dan mempraktikkan teori-teori yang selama ini kita pelajari untuk menyelamatkan alam. Yang ada di Bumi adalah titipan dari Tuhan yang dipergunakan untuk generasi yang akan datang.


Gerbang TNGM

Kami kembali berjalan dari pos gerbang jam 12.10  Kembali menyusuri perjalanan, kami sampai di pos pertama kira-kira pk 13.10. Pos pertama bernama Batu Welah, tidak lama berhenti, kami kembali berjalan pk 13.45 menuju pos kedua, sampai di pos kedua pk 15.00. 


Saya dan kak Hilmi di pos II



Rute perjalanan kami



Hari itu pendakian tidak terlalu ramai. Saya menikmati setiap langkah saya, merasakan panas matahari yang menyengat, pohon-pohon di pinggir yang membantu saya melangkah naik ke atas. Pertanyaan reflektif yang mungkin selalu ada dan saya berulang kali sudah menulis, apa tujuannya naik sampai puncak? Lalu turun kembali? Mungkin sebagian orang akan bilang, bikin capek aja. Tapi, sebuah perjalanan dalam pendaian adalah seperti proses kehidupan yang dilalui. Tidak ada yang instan. Bagi saya, berjuang itu penuh peluh, tangis dan mungkin derita. Tapi, selalu setialah dalam perkara kecil, percaya nanti semuanya akan berbuah manis pada akhirnya. Barang siapa menabur dengan air mata, akan menuai dengan suka cita:)



Rasanya terasa semakin lelah, batu-batu terus menghujam kaki kami. 

Kalau dibayangkan saat itu hujan, tubuh terasa menggigil, barang-barang basah, lapar menyerang, semua yang menyengsarakan bertumpuk menjadi satu. Perihnya kaki-kaki yang terantuk di bebatuan makin terasa saat sore hari hujan turun dengan derasnya, saat kami sebentar lagi mencapai Pasar Bubrah. Hujan dengan derasnya menyambut perjalanan kami menuju Pasar Bubrah.

Seluruhnya barang milik kami basah, baju basah, makanan basah, tenda basah, jaket apalagi, rasanya semua sudah tidak ada lagi proteksi untuk melindungi tubuh. Teman-teman sudah mulai mendirikan tenda di tengah hujan. Saya yang berjalan belakangan, merasa terlindungi dengan teman-teman yang luar biasa ini.  Pengalaman kehujanan di gunung pertama kalinya, selama ini mendaki selalu dalam keadaan cerah. Rasa ingin menyerah sempat menghantui tapi saya usir jauh-jauh.

Sabtu malam, kami banyak menghabiskan waktu di tenda bersama, karena hujan masih deras-derasnya. Makan bersama, bercerita bersama, rasanya menyenangkan sekali walaupun kedinginan di tengah hujan tetap dengan kehangatan mereka. 

Minggu dini hari tiba, karena puncak Garuda sudah tidak bisa didaki, alhasil kami hanya menuju ketinggian lainnya yang tidak mengarah ke kawah. Menyambut matahari terbit di pasar Bubrah ditemani deru angin yang kencang, dan sinar matahari yang semakin lama semakin memberikan kehangatan.

Tepatnya pk 09.00 pagi, kami mulai turun menyusuri pasar Bubrah, perjalanan pulang terasa lebih mudah, kurang lebih hanya 3 jam kami sudah sampai di New Selo basecamp.


Pasar Bubrah, Maret 2016



Perjalanan pulang, kaki rasanya sudah letih, tetapi perasaan bergembira terlukiskan di hati. Sedih diketahui bahwa teman kami Raihan kehilangan hpnya saat kembali ke basecamp. Pak Nardi yang menghantarkan kami menuju stasiun Solo Jebres dan akhirnya kami harus kembali ke Jakarta.  Sampai jumpa lagi alam Merapi, yang sudah mengajarkan kami banyak hal.


Biar alam yang berbicara bahwa manusia harus merawatnya terlebih untuk generasi mendatang maka  jagalah alam tersebut.

Proudly raise the Indonesian flag in my eighth mountains journey, berkaca dr situasi politik hukum yang cukup memanas di negeri ini, kami tetap memilih jalan anak bangsa yang optimis percaya bahwa segala sesuatunya ada jalan, berjalanlah jujur, tulus, dan benar Seperti yang teman kami, Masdan tuliskan dalam statusnya di media sosial saat menyambut kita semua pada hari Senin, “kami lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Seperti prinsip Soe Hok Gie. Utopis? Mungkin ya. Tapi disitulah perjuangan dimulai. Rasanya, itu yang kami rasakan. Kami terus melaju saat semua menghalangi, dan kemunafikan yang dimaksud, ya kami tetap berpegang teguh pada prinsip kami.


menyambut sunrise di Merapi

Bersyukurlah akan rahmat kehidupan dari Tuhan, lihat sekeliling kita, anak sekolah di negeri ini masih harus menyebrang sungai yang deras dengan berenang untuk pergi ke sekolah, ada yang harus menjual ginjalnya untuk memberi nafkah keluarganya, ada lagi harus memikirkan bagaimana melunasi hutang puluhan juta, memikirkan harus makan apa, perang atau konflik antar suku. Disitulah arti perjalanan kehidupan, bukan harta, tahta, dan materi apalagi kekuasaan tetapi bagaimana kamu dalam keterbatasan tetap membagikan waktu, tenaga, pikiran bagi mereka yang membutuhkan.

Bersyukurlah untuk segala anugerah yang kamu terima. Percayalah akan selalu ada terang di balik hujan. Dengan alam yang terbentang luas, disitulah hati kita harus bersyukur akan keagungan Tuhan, luas nya alam semesta ini mengingatkan kita betapa kecilnya kita dan betapa besarnya pencipta.

Ada hati yang menggerakkan kaki ini untuk melangkah kembali ke Merapi, menikmati ciptaanNya yang tiada tara. 



Pasar Bubrah, Minggu pagi


Raihan, kak Hilmi, saya menyambut sunrise






Cloud's carpet








Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISFIT Preparation

Semenjak pengumuman dr ISFIT Norway awal November lalu (saya ingat sekali tepatnya tanggal 4 November, saya sungguh hampir lupa saya pernah apply, saat itu saya sedang menginap di rumah teman saya Audrey sehabis bekerja hingga larut malam, saya sungguh tidak membayangkan ini terjadi tapi Tuhan membukakan jalan, semoga bisa mengerjakan dengan baik:D). Sebelumnya flashback sedikit tentang proses saya mendaftar. Saya mengetahui ISFIT dari beberapa teman di UI dan sahabat saya Septian yang menjadi delegasi ISFIT tahun 2013. Saat itu, saya melihat topik-topiknya, membaca websitenya di isfit.org. Sangat menarik. Topiknya berada di antara isu-isu sosial, politik, hukum, dan topik global lainnya. Cara seleksi untuk mengikuti ISFIT ini adalah dengan mengirim 2 esai (sebetulnya 3, tapi esai ketiga ini tidak wajib, dan itu jika ingin mendapat travel support, karena ISFIT hanya menanggung akomodasi dan transportasi selama disana, tiket pulang pergi dari negara tidak ditanggung). Karena samb

Kelas Inspirasi Bojonegoro, 2 Mei 2016

Daerah, bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan di Indonesia. Sarat dengan problema. Tidak jarang konflik timbul antara pusat dan daerah. Termasuk masalah pembangunan bidang-bidang fundamental salah satunya pendidikan. Pasalnya, belum banyak yang menyadari bahwa sedemikian pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bukan hanya kognitif semata, tapi afeksi, moral dan pendidikan dalam pelajaran hidup lainnya. Hati ini yang menggerakkan untuk melangkahkan kaki menuju Bojonegoro, di hari pembuka di bulan Mei yang lalu. Tiba di Surabaya pk 07.00 setelah pagi hari saya mengambil flight pagi dari Soekarno-Hatta, saya naik bus Damri dari bandara Juanda menuju Bungur, sampai di Bungur pk 8.15. Di Bungur, saya mengambil bus jurusan Bojonegoro. Perjalanan hari itu sangat menyenangkan, tidak terlalu ramai, naik bus di daerah yang cukup asing buat saya, tapi saya sungguh sangat menikmatinya. Menyenangkan sekali naik bus antar kota di Jawa Timur. Saya tiba di termi