Keributan persoalan
taksi aplikasi versus taksi konvensional yang menghiasi pemberitaan di negara
ini cukup mengundang kontroversi. Taksi berbasis aplikasi, dengan inovasinya
dianggap penyebab taksi konvensional “mati perlahan” karena kalah bersaing.
Banyak orang mengatakan hilangnya pasar mereka merupakan kesalahan internal di
perusahaan dalam respon keseimbangan baru di industri, seperti yang ditulis
dalam Majalah Tempo edisi 28 Maret 2016. Masalahnya, kalau dilihat secara jeli
bukan pertarungan inovasi teknologi dan non-teknologi tetapi kesiapan
pemerintah dan aturan yang menjadi payung perusahaan angkutan berbasis aplikasi.
Baik taksi online maupun konvensional
harus tunduk pada regulasi. Aplikasi online
yang lebih murah karena mengganti salah satu proses, namun perusahaan aplikasi
tetap harus bermitra dengan perusahaan yang memiliki kendaraan dan supir. Aturan regulasi dari pemerintah belum jelas
untuk mitra perusahaan aplikasi tersebut yang seharusnya membayar tarif yang
sama dengan perusahaan angkutan lainnya.
Taksi online dirasa masyarakat juga lebih
efisien, karena hanya menunggu saja di tempat pemesan tersebut berada. Pemerintah
yang harus tegas dalam memilih regulasi karena nyatanya yang menjadi korban
bukanlah pengusaha. Melainkan sesama pelaku kecil, para sopir yang cemburu satu
sama lain. Pemicunya perbedaan tarif pelat kuning dan pelat hitam. Regulated
price harus dibuat seadil mungkin. Semua perkembangan teknologi ini harus
mengarahkan negara menjaga keseimbangan dan perubahan yang sehat karena
persaingan.
Sejak zaman Yunani Kuno,
keadilan menjadi jiwa dari pemikiran hukum baik pada Plato (427-347 SM) maupun
Aristoteles (384-322 SM)[1] Keadilan merupakan
keutamaan atau ideal yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian,
bertindak adil adalah perbuatan yang baik begitu saja tanpa harus dikaitkan
dengan untung atau rugi secara praktis. Bagi
Plato, adil ini ada dalam diri manusia tetapi tidak mungkin dimiliki orang
secara acak. Maka, terhadap tuntutan para supir taksi konvensional, aturan
main yang dibuat pemerintah harus berkaca pada dunia idea sesuai metode
berpikir Plato, dunia yang adil, baik, indah, dan satu.[2] Hukum
pada zaman Yunani kuno bukanlah hukum positif, tetapi merupakan ius, hukum
manusia yang merefleksikan hukum kodrat. Ada aspek legal dan moral di dalamnya
maka hukum dan moral tidak terpisahkan. Hukum kodrat itu yang abadi dan terus
menerus. Ius sebagai hukum yang dibuat manusia harus mencerminkan keadilan bagi
masyarakat umum. Dalam hal ini, pemerintah harus mengatur sedemikian rupa
agar konflik sopir taksi, yang merupakan bagian kecil dari masyarakat tidak
berlanjut terus menerus. Rakyat harus diakomodir dengan rasa tanggung jawab
demi kesejahteraan. [3]
Dalam buku Politea, Plato
melukasikan suatu model tentang negara yang adil. Negara harus diatur secara
seimbang menurut bagian-bagiannya, supaya adil. Dalam negara macam itu,
tiap-tiap golongan mempunyai tempat alamiahnya. Timbullah keadilan, bila
tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat apa yang sesuai dengan
tempatnya dan tugasnya.[4] Konsensus ketiga kelompok
ini penting dalam sebuah negara agar mencapai keadaan yang adil tersebut. Dasarnya
adalah ide para filsuf, kebijaksanaan/wisdom para filsuf inilah yang mampu
merekatkan ketiganya, karena tidak hanya keadilan yang tercermin karena secara
legal mengikat, tetapi juga secara moral.[5]
Plato
berbicara tentang kebijaksanaan, keberanian, dan kebaijkan dari keadilan.[6]
Pentingnya pengetahuan tentang keadilan itu, 4 (empat) konsep penting perlu
menjadi perhatian yaitu temperance,
courage, wisdom and justice[7],
uraian garis besar pandangannya dalam keadaan ideal.
Taksi-taksi online seperti uber, grab, harus
ditentukan apakah mereka termasuk perusahaan aplikasi atau perusahaan transportasi. Keadilan tercermin dalam diri filsuf bagi
Plato, maka regulator di negara kita yang seolah posisinya seperti filsuf. Jika
perusahaan online tersebut memilih
perusahaan aplikasi/application service
provider (ASP) harus mengikuti aturan yang dibuat Kementerian Komunikasi
dan Informatika, tetapi mitranya yaitu perusahaan untuk penyedia kendaraan dan
sopir tetap patuh pada Kementerian Perhubungan. Regulator harus menggariskan secara jelas regulated price bagi perusahaan aplikasi sehingga tidak timbul
kecemburuan bagi para supir taksi, regulator ini ibaratnya si filsuf, harus
mengarahkan negara agar menjaga keseimbangan dan perubahan yang sehat karena
persaingan, dunia idea itu sendiri.
Thomas Aquinas
berpendapat lain. Hukum positif yang dibuat manusia prompt to error. Moral tidak semata-mata yang ada di rasio, tetapi
juga divina.[8]
Moral dari divina bukan keadilan tapi yang baik buruk menurut Tuhan, yakni moralitas
yang spritual. Aquinas juga mendamaikan agama dan rasio, moralitas datangnya
dari akal sehat dan agama. Thomas
Aquinas mengatakan hukum positif promp to
error, hukum positif harus terima lex divina/The Divine Law. Human law
prompt to error tapi bukan berarti
tidak ada. Yang dibuat legislatif biarlah tetap menjadi hukum positif. Tetapi
yang berkaitan dengan “divina” tetap divina adanya. Divina berasal dari Allah
dan menjadi panduan manusia untuk melaksanakan tindakannya.[9] Hukum positif yang dibuat manusia prompt
to error, maka regulasi perizinan, tarif, dan aturan pajak dalam
penyelesaian masalah ini harus dibuat identik dengan keadilan, dan sesuai lex divina.
Immanuel Kant
menyempurnakan Leibniz dan Hume, antara pengetahuan dari rasio dan pengalaman,
Kant mengemukakan konsep pengetahuan dibagi 3: 1) Indrawi; 2) Akal Budi; 3) Intelek.
Moralitas bagi Imanuel Kant didasarkan
pada konsep kebebasan, atau otonomi. Seseorang dengan bebas (atau otonom), tidak hanya bertindak tetapi
mampu mencerminkan dan memutuskan apakah akan bertindak dengan cara tertentu.[10] Menurut Kant, seseorang yang bertindak demi hukum moral berarti bertindak berdasarkan kewajiban sebagai
pengejawantahan dari kehendak baik dan karenanya tindakan itu baik secara
moral.[11]
Maka, semakin bermoral
semakin beragama seseorang. Konsepsi rasional ada di indrawi dan akal budi.
Kant tidak melihat semata-mata hanya benda atau objek (masalah aplikasi dan
bukan aplikasi) tapi fenomenanya, pengalaman dari objek tersebut yaitu dalam
kasus ini tindakan pemerintah yang harus tegas dalam penetapan tarif bagi
perusahaan angkutan dengan aplikasi, agar tidak terjadi konflik horizontal
antar sopir taksi. Karena saat ini regulasi yang tidak ada bagi perusahaan angkutan
yang adalah mitra perusahaan aplikasi tersebut.
Thomas Hobbes
menjelaskan pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara. Konsep
manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme. Sebagai penganut empirisme, Hobbes menganggap bahwa pengetahuan berasal
dari pengalaman semata-mata. Pengalaman adalah awal dari pengetahuan.
Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman.[12] Pengalaman akan transportasi online
yang hadir di tengah masyarakat, dirasa membantu masyarakat. Kejadian baru ini
tentunya membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Tetapi apakah pemerintah sudah
menyediakan regulasi yang jelas untuk perusahaan angkutan berbasis transportasi
ini? Kewajiban-kewajiban tertentu harus ditegaskan agar tidak menimbulkan
kecemburuan.
Keuntungan yang didapat
perusahaan online secara materi karena lebih murah bukan untuk mengarah
secara materialisme seperti yang
diibaratkan Thomas Hobbes, yang termuat dalam bukunya Leviathan[13]. Manusia menjadi serigala
bagi manusia lain, ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Walaupun
di tengah situasi persaingan ekonomi seperti ini, yang bisa menengahi
persaingan tersebut ialah peraturan yang dibuat pemerintah. Kalau antar supir
masih ada kecemburuan akibat tidak jelasnya regulasi, negara belum menunjukkan
fungsinya melindungi kepentingan seluruh pihak dan pihak yang kuat akan terus
menindas yang lemah. Tugas pemerintah adalah menciptakan lingkungan persaingan
yang adil, pasar yang kondusif, serta memberikan kesejahteraan dan keamanan
bagi masyarakat. Selain aspek legalitas layanan, pemerintah juga harus
merancang kebijakan ekonomi guna mengatasi sejumlah permasalahan yang mungkin
timbul di kemudian hari. (Muhammad Syarif Hidayatullah, Peneliti Wiratama
Institute, pada Kompas, 23 Maret 2016) Kepentingan-kepentingan masyarakat ini
harus diakomodir oleh negara.
Bentham dengan aliran utilitirianisme yang mengatakan tujuan
hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan kepada warga masyarakat
sebanyak-banyaknya maka yang terutama bagi warga negara yakni mendambakan
kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. [14] Senang atau bahagia
adalah hal yang utama sehingga menandakan moral yang baik. Senang atau bahagia
dilihat dari kebahagiaan mayoritas orang. Bila taksi online lebih disenangi masyarakat karena pelayanannya, maka itu
yang harus dipertahankan. Karena Bentham melihat mayoritas kebahagiaan dari
kuantitas. Kebahagiaan mayoritas tetapi seharusnya tetap menjunjung tinggi hak dan
martabat masyarakat minoritas.
Habermas mengatakan
bahwa positivis yang melihat otak hanyalah alat. Manusia bukanlah alat
melainkan subjek yang bisa berkomunikasi
(dlm teori communicative action).
Konsesi, kerjasama adalah hal yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama[15] Rasionalitas
instrumentalis berubah ke arah rasionalitas yang komunikatif. Maka, perlu ada
komunikasi antara perusahaan aplikasi, sopir, perusahaan angkutan, pemerintah
sehingga inovasi tersebut bukannya 'menghabisi' taksi konvensional tapi
mengatasi inefisiensi yang selama ini disebabkan tarif yang berlebihan. Dalam demokrasi deliberatif menurut pemikiran
Habermas[16],
suara rakyat dapat mengontrol keputusan penguasa, rakyat dapat mengkritisi
kebijakan pemerintah. Maka opini/aspirasi publik memiliki fungsi untuk
mengendalikan kebijakan-kebijakan politik. Disitulah pentingnya ruang publik.
Sekalipun fenomena taksi online
vs taksi konvensional ini multidimensi: ada aspek hukum, sosial, budaya, moral,
teknologi dll. Peristiwa ini juga terjadi karena pemerintah belum menyediakan
regulasi yang dapat menyikapi angkutan publik berbasis aplikasi. Pungutan
angkutan secara jelas juga harus diperbaiki sehingga angkutan umum tidak dirugikan.
Hukum atau aturan yang dibuat seharusnya bisa mengatasi. Perlindungan kepada
semua pihak adalah hal yang utama sehingga tidak ada yang dirugikan.
Maria Anindita Nareswari
[1] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, (Jakarta: Kanisius, 2009),
hal 37
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal 23
[6] Shagufta Begum dan Aneeqa Batool
Awan, Plato’s Concept of Justice and
Current Political Scenario in Pakistan, (USA: Center for Promoting Ideas,
2013), hlm 1.
[9] Ibid.
Komentar
Posting Komentar