Langsung ke konten utama

Spain 2011

mengingat sedikit refleksi singkat tentang 20 hari di Spanyol Agustus 2011:

20 Days to Remember
We follow Christ wherever He wants to lead us
For in the darkness, there’s no reason to believe
Kindle the world with the light of Your Spirit
Father of creation prompt us to share Your bread

Everything happens for a reason J. Saya yakin dan percaya bahwa semua yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan, dan semua terjadi bukannya suatu kebetulan tapi Tuhan sudah mengatur semuanya J

Mungkin saya bukan orang yang pandai bercerita dengan bahasa bagus atau puitis. Tapi kali ini saya ingin membagi sedikit pengalaman yang saya rasakan selama ‘menemukan’ Tuhan lewat experiment bersama kelompok Magis dan World Youth Day, Spain 2011J

Magis, sebuah kelompok yang terdiri dari kaum muda yang bersama-sama mencari dan menemukan Tuhan lebih dalam, lewat Ignatian Sprituality seperti yang dipelajari oleh Society of Jesus (Serikat Jesus). Magis Indonesia sendiri ada di Jakarta, Jogjakarta, dan Bandung.  Tepatnya 3 Agustus, tim Magis Indonesia (Magis Jakarta, 14 orang dan Jogjakarta 4 orang) berangkat dari bandara Soetta sebagai pigrim/peziarah bersiap untuk menjalani experience bersama kelompok Magis dari seluruh dunia yang telah diorganisir oleh Society of Jesus dan bersama-sama kelompok rohani lain lebih tepatnya orang Katolik seluruh dunia mencari Tuhan lebih dalam lewat World Youth Day.

Kota yang disinggahi pertama adalah Loyola, tempat awal mula dari Santo Ignatius Loyola. 3 hari di kota ini kami ada acara Ignatian gathering dengan kelompok Magis dari seluruh negara. Dengan didengungkannya hymne Magis “Con Cristo en el corazon del mundo” artinya with Christ at the Heart of the World, kami memulai momen bersama kami sebagai satu komunitas muda yang ingin menghidupi “magis” secara lebih mendalam dan mengenali serta mengeksplor diri agar menjadi lebih untuk hidup kami dan terlebih untuk dunia ini. More for your life, more for our world J . Ignatian Gathering membuat kami mengakrabkan diri dengan teman-teman dari negara-negara lain. Dan yang sangat berkesan adalah penampilan Saman Dance dari Magis Indonesia saat Festival de las Cultural, Loiola, Spain. Kami mendapat standing ovation saat itu. Semua orang menyukai penampilan kami, kami tidak menyangka akan sebesar itu respon mereka karna banyak negara lain juga yang menampilkan kebudayaan khas negaranya. Saat itu berita langsung sampai ke Indonesia karena tim Magis langsung memasukannya ke website dan situs media lain. J. Rasa senang dan bangga sebagai orang Indonesia amat besar. I’m proud to be IndonesianJ . Saat kami menari, yang kami pikirkan hanyalah fokus dan bagaimana bisa menemukan Tuhan lewat tarian yang kami persembahkan. Sepertinya Tuhan memanggil dan menyentuh kami lewat penampilan ini. Di kota kecil nan indah ini pula, saya merasa begitu dekat dengan Tuhan (biasanya juga merasa dekat, namun entah kenapa disini lebih erat dan intim). Saya merasakan Tuhan merangkul saya lewat teman-teman yang mungkin baru kita kenal 1-2 hari namun kami bisa dekat karena mungkin Tuhan lah yang menyatukan kami dan kami sama-sama punya tujuan yakni, Kristus. Kristus yang berada di hati kita. Misa setiap hari dengan campuran bahasa, adorasi yang menyentuh, taize, workshop discernment (memilah desolasi dan konsolasi), funny dance dan hymne Magis yang selalu kami lakukan dan nyanyikan tiap hari, semuanya berbaur begitu indah dan dalamnya. Hari terakhir disana, penuh kenangan, penuh kerinduan, canda tawa dari airport Madrid menuju Loyola bersama Magis Paraguay dan Malta, para Jesuit yang baik hati menyambut kami dengan ramah, Father Alberto SJ yang mengantar kami berkeliling dan akhirnya menuju penginapan, misa, nyanyi dan nari bersama, sampai di hari terakhir kami dibagi dalam kelompok-kelompok yang akan disebar untuk eksperimen ke seluruh Spanyol dan Portugal.

Peregrinasi dari Loyola ke Navarrete.
Saya awalnya hanya bertanya-tanya dari dalam diri, apakah saya sanggup menjalani perjalanan ini. Saya tahu saya mendapat experiment peregrinasi, namun ketakutan saat di Jakarta dahulu baru terasa saat ini, detik dimana esok hari perjalanan itu akan dimulai.  Saya menceritakan ketakutan saya pada suster dari Magis Jogjakarta yang menjadi pembimbing kami selama disana, Suster Inez FCJ. Dia hanya menenangkan saya bahwa semua akan baik-baik saja, tidak perlu khawatir karena kita akan berjalan bersama Tuhan. Jujur, ini adalah pengalaman saya pertama dalam peregrinasi. Kalau olahraga, jalan kaki dan bersepeda jauh sudah biasa, tapi entah mengapa jalan menapaki rute Santo Ignatius membuat jantung diliputi degup yang luar biasa kerasnya.

Kami ada dalam kelompok L7 yang akan berjalan dari Loyola ke Navarrete kurang lebih selama 8 hari, beranggotakan sekitar 24 orang yang terdiri dari masing-masing orang dari Indonesia, Hungaria, dan Polandia. Awal pertemuan dengan mereka rasanya sangat menyenangkan, ditambah hari pertama kami berjalan diliputi hujan deras dari Basilica Loyola sehingga kami pun memulai perjalanan kami dengan hujan deras. Memilah barang-barang yang sangat diperlukan untuk 8 hari agar tidak terlalu membawa banyak beban saat perjalanan adalah hal yang sangat sulit. Namun disitu saya belajar lepas dan bebas akan suatu ketergantungan. Saya hanya membawa 2 baju dan tidak terlalu banyak membawa hal-hal yang kurang penting lainnya. 

Tak terasa 2 jam sudah kami berjalan. Hujan sudah mulai reda, kami sudah melepas jas hujan kami. Suasana silent masih meliputi kami walaupun seharusnya suasana silent selama perjalanan hanya dilakukan setengah jam awal. Mungkin karena kami belum terlalu mengenal satu sama lain. Itu pertemuan kami kedua setelah briefing. Lagipula masih ada rasa sungkan ingin menyapa dan mengenal mereka lebih jauh. Nanti dikira sok kenal. Masih memikirkan itu dalam kesunyian, tiba-tiba seorang teman dari Hungaria yang menyapa saya pertama kali. Kinga namanya. Saya ingat betul dialah orang yang pertama kali menyapa saya dan kami pun mengobrol tanpa rasa sungkan lagi.  Sepanjang perjalanan kami mengobrol banyak dan tentunya dengan teman-teman lain juga. Di grup kami ada 3 orang Jesuit yaitu Father Michael dari Spanyol, Father Zoltan dari Hongaria, dan Father Wojtek dari Polandia, ditambah Fabian dari Spanyol (masih frater, dia yang membantu menyuplai makanan kepada kami selama perjalanan sehingga walaupun panas lapar dan haus menyerang kami selama peregrinasi kita tak pernah merasa kekuranganJ), dan ada volunteer dari Bilbao bernama Xavier. Xavier bukan seorang Jesuit, namun tingkahnya layaknya seorang Jesuit. Dia yang memimpin perjalanan, sebagai koordinator dari peregrinasi kelompok kami. Menurut saya, dia benar-benar seorang yang diutus Tuhan untuk menemani kelompok kami, dia benar-benar orang yang hebat. Kehebatannya luar biasa dan pengorbanannya tiada duanya. Teman-teman lainnya yang sangat baik ada Dani, Marton, Eva, David, Nora, Tamaz (Hongaria), serta Zofia, Zaneta, Mike, Karolina, Joanna dan Christopher dari Polandia. Saya selalu berpikir orang-orang yang datang dalam hidup saya tentu bukan suatu kebetulan tapi memang suatu rencana Tuhan. Mungkin lewat mereka saya bisa belajar banyak hal yang nantinya akan berguna bagi hidup saya. Siapa yang tahu. Saya hanya harus lebih peka.

Hari pertama berjalan masih diliputi aspal, tidak terlalu banyak tantangan dan hambatan. Hanya saja berjalan kurang lebih 20 km di aspal menurut saya tidak terlalu enak. Tapi ini baru hari pertama, harus dijalankan bukan? Tentunya hari-hari berikutnya akan lebih ‘berat’. Tapi memang tujuan dari peregrinasi ini. Pertanyaan yang selalu memenuhi pikiran saya selama perjalanan adalah : Apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup saya?Buat apa sih jauh-jauh ke negeri orang malah jalan kaki jauh, panas-panasan yang bisa buat kulit kebakar? Mungkin di akhir peregrinasi akan didapat jawabannya. Sepanjang perjalanan pertanyaan itu selalu menghantui pikiran saya.

Usai sudah hari pertama. Kami beristirahat di Zumaraga. Disinilah mulai terasa kebersamaan kami. Doa bersama, misa bersama, makan bersama, dan tidur bersama. Rasa-rasanya ini indah sekali. Mereka bukan lagi orang asing tapi sungguh teman-teman yang sama-sama bereksperimen dalam menemukan Tuhan lebih dalam lagi. Kami misa dalam gereja yang berbalut emas secara keseluruhan. Rasanya memukau sekali. Belum pernah saya lihat ini sebelumnya.

Hari kedua peregrinasi dimulai. Ini benar-benar hari yang sangat berat karena medan yang kami lalui banyak bukit-bukit, naik-turun gunung yang tinggi dan curam, serta tantangan lainnya. Pagi hari kami doa dan sarapan bersama, setelah itu kami diberi perbekalan roti untuk siang hari agar kuat di jalan. Nyatanya pada pagi hari, perbekalan untuk siang hari saya sudah saya habiskan di awal perjalanan karena berjalan seperti itu cenderung membuat saya lapar. Akibatnya saya sering ditegur. Mulai saat itu saya belajar bagaimana kita harus menahan hawa nafsu selama perjalanan seperti ini karena sulit untuk mencari makanan. Saya banyak belajar dari semua orang dalam perjalanan. Terlebih saya yang paling muda dalam kelompok ini dengan Marton dari Hongaria. Umur kami 18 tahun. Namun jangan ditanya, badannya jauh lebih besar dari saya sehingga saya lah yang selalu dikhawatirkan dalam perjalanan ini. Terlebih Xavi, Father Michael dan orang-orang lain banyak sekali yang mengkhawatirkan saya. Padahal saya tidak ada masalah. Kalaupun saya jalan agak lambat itu karena memang sedang menyimpan energi.:)  Bahkan Xavi hampir menanyakan keadaan saya tiap menit. Mungkin karena faktor badan saya yang kecil. Saat naik gunung pun, boleh dibilang “it was the hardest part of our pilgrimage”, kami naik gunung Arantzazu membawa tas gembol yang cukup berat ditambah harus menumpu tubuh kami. Rasanya sulit sekali bahkan untuk melangkah. Mike dari Polandia seperti seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk saya, dia membantu saya dalam perjalanan ini. Dia membawakan tas saya, membantu melangkah jika banyak ranting pohon dan halangan lainnya. Dari bawah hingga puncak dia mengajak saya berbicara tentang banyak hal sehingga berjalanpun terasa enteng. Kami menyukai banyak hal yang sama mulai dari sepakbola, film dan lainnya. Kami masih sering kontak lewat email. Padahal kami baru kenal 2 hari tapi rasanya seperti sudah lama, dia sangat baik membantu saya sepanjang jalan. Rasanya Tuhan benar-benar mengirimkan Mike untuk memotivasi saya hingga akhirnya bisa sampai di puncak. Lalu kami turun gunung dan berisitirahat di Mirandaola. Udaranya sangat dingin, kami makan di alam terbuka menghadap lembah yang sangat indah. Dan ini pengalaman saya pertama kali naik gunung, rasanya bahagia sekali bisa naik gunung Arantzazu bersama teman-teman yang sungguh baik. Jesuit disini terbuka sekali, walaupun kami baru kenal 2 hari tapi mereka sungguh terbuka dan tidak bosan-bosannya menolong kami. Father Michael yang menjahit kaki Zofia yang luka, dan kaki teman-teman lain yg terluka karena medan yang berat di hari kedua ini, Xavi yang membawakan tas teman lain yang agak kesusahan naik gunung, memijat yang sakit dan kelelahan. Rasanya tidak bsia menceritakan semua kebaikan mereka yang tidak terhitung banyaknya. They’re really strong and helpful.

Magis circle setiap hari diadakan sesudah perjalanan kami, saya bersama ka Avo (Indonesia), Dani dan Marton (Hungaria), Father Wojtek dan Zofia( Polandia). Yang saya sering sharingkan dalam circle yaitu masih menemukan jawaban apa yang saya cari dalam peregrinasi ini. Buat apa saya jauh-jauh kemari hanya untuk berjalan sangat jauh yang mungkin masih abstrak tujuannya. Masih sulit menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Father Wojtek sangat terbuka, saya sering menceritakan masalah-masalah yang saya hadapi padanya dan dia pun sering memberi solusi. Saya merasa Tuhan mengirimkan orang-orang hebat dalam hidup saya seperti mereka supaya saya belajar pelajaran hidup yang mungkin tidak bisa saya temui di tempat lain. Bagaimana harus mengatur perbekalan, bagaimana mengatur langkah agar kuat setidaknya selama sehari berjalan.  Mereka orang-orang hebat yang pernah saya temui dalam hidup saya, tidak hanya memperkuat hidup rohani saja tapi tentang hidup duniawi juga. Saya banyak belajar dari mereka.

Hari ketiga tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya. Medan yang dihadapi tidak seberat hari kedua namun tetap terasa berat. Masih naik dan turun bukit, naik dan turun gunung tapi tidak setinggi gunung Arantzazu. Kami berjalan tiap harinya kurang lebih 20-25 km. Hari ketiga kami beristirahat di Arraia. Akhir perjalanan seperti biasa kami mengadakan magis circle, misa dalam berbagai bahasa menggabungkan 3 negara. Rasanya menyenangkan sekali. Di Arraia kami menginap di tempat seperti bekas hall olahraga sebuah sekolah. Tempatnya gelap, tidak ada lampu. Penyinaran hanya dari senter. Ini sebuah pengalaman langka ditambah malam itu disajikan makanan nasi goreng ala Indonesia. SenangnyaJ Seminggu lebih disana kami tidak bisa menemukan nasi, dan sekarang kami masak bersama-sama dengan teman-teman Hongaria dan Polandia, dengan jamuan wine. Walaupun rasa nasinya berbeda dengan nasi di Indonesia tapi rasanya tetap begitu enak ditambah kehangatan dengan teman-teman seeksperimen.

Hari keempat dari Arraia kami menuju Santa Teodocia, tetap menantang medan yang harus dilalui. Udara begitu dingin tempat untuk kami tidur pun seadanya. Hanya sebuah pondok, tidak ada tempat mandi, namun begitu natural dan sangat indah apalagi saat matahari terbenam. Benar-benar harus lepas bebas untuk merasakan apa yang dirasakan Santo-Santa.

Begitu pula hari-hari seterusnya. Kami melihat gereja begitu sering. Panas matahari tak terasa jika bersama-sama teman-teman berjalan dan bernyanyi bersama. Kalau saya mulai terlihat lelah semua orang : Esi, are you okay? . Padahal saya biasa saja, Cuma entah kenapa mata semua orang seperti mengasihani saya entahlah.hehe. Kalau kami bertemu swimming pool atau riverpool, pasti kami berhenti sejenak dan berenang bersama. Karena siang hari berjalan udara panas luar biasa, jadi saat melihat kolam renang atau air kita seperti melihat sebuah rahmat dari Tuhan yang membuat kami lebih segar sehingga kuat untuk melanjutkan perjalanan.

Yang tidak akan terlupa dari perjalanan ini kami tidak menemukan kamar mandi selama kira-kira 3 hari di jalan alhasil kami tidak mandi, hanya sekedar membersihkan tubuh kami jika bertemu mata air. Tidak masalah, namanya peregrinasi, harus lepas bebas bukan? Kami menjadi benar-benar seperti seorang musafir. Melewati hutan jam 10 malam pun rasanya pengalaman yang tak akan terlupakan, tidak ada rasa takut saat kami lewat hutan. Karena setelah melewati hutan selama 1 setengah jam kami tiba di Gabredo, tempat kami beristirahat hari itu. Dan menjadi penutup malam itu adalah Hungarian food.:) Menyenangkan sekali. Xavi, Father Michael, Father Wojtek benar-benar orang-orang yang sangat perhatian, mereka masih menjahit dari kami yang kakinya terluka, memijat, meminjamkan jaket, dan segala bentuk perhatian yang kecil namun sangat berarti buat saya begitu tersentuh.

Melanjutkan perjalanan dari Gabredo, perjalanan masih cukup panjang, Zaneta seorang teman dari Polandia yang bersuara emas, dalam perjalanan kami berjalan bersama, kami bernyanyi bersama dan dia membantu saya membawa tas saya, katanya saya terlihat letih dan keberatan, seperti Xavi yang selalu mengkhawatirkan saya. Xavi akhirnya membetulkan tas dan posisi ikatan dari tas saya, hingga sekarang tas saya terasa ringan. Saya sungguh banyak belajar dari teman-teman peregrinasi ini dan tentunya mengubah sifat kanak-kanak saya agar bisa berpikir lebih dewasa.  Setelah kurang lebih 3 hari kami tidak menemukan kamar mandi, akhirnya kami bisa menemuka shower saat itu. Luar biasa bersyukur, kalau ingat hal ini sekarang saya jadi lebih menghargai air. Saat itu kami ada di Landiego, kota kecil nan indah.

Akhirnya hari yang kami nantikan tiba. Tinggal beberapa kilometer lagi menuju tujuan ahir dari peregrinasi kami, Navarrete! Hari terakhir entah mengapa menjadi hari yang paling membuat saya bersemangat walaupun sedih karena tahu kita tidak akan berjalan bersama lagi. Hari terakhir itu rasanya semuanya menyenangkan. Udara panas tidak terasa. Dan medan yang kami lewati bukan lagi gunung, lembah atau hutan belantara, kami sudah banyak bertemu orang-orang seperti di kota besar karena tinggal sedikit lagi menuju Navarrete. Musik jalanan dan tarian khas Spanyol menemani perjalanan kami. Kami berhenti disana. Makan es krim, menikmati stage dan pemandangan disana yang indah. Tanpa terasa sampailah sudah kami di Navarrete. Kami dipesankan motel disana oleh para Jesuit. Akhirnya kami tidur di kasur setelah sekian hari tidur di sleeping bag. Wah rasanya bersyukur sekali. Ini hanya sepotong rute perjalanan Santo Ignatius. Rasanya luar biasa menantang dan menghabiskan tenaga. Membayangkan betapa hebatnya para Santo-Santa. Semakin membuat diri saya untuk tidak pernah menyerah dalam segala hal karena jalan yang diberikan Tuhan sudah ada pilihan kita ingin bertahan dan akhirnya berhasil melampauinya atau menyerah di tengah jalan dan memilih untuk mundur. Kami misa perpisahan di Navarrete, kami mengikuti pesta di kota itu tepat di depan gereja. Sangat kontras gereja begitu sepi, dan di depan gereja orang pesta, minum wine, bahkan ada yang mabuk. :p Kami perpisahan di gereja tu dengan misa yang sangat menyentuh.

World Youth Day
Kami tak harus lagi berjalan dengan bawaan yang berat, dengan terik matahari yang membakar kulit kami, naik-turun gunung karena usai sudah 8 hari kami menapaki rute Santo Ignatius dari Loyola ke Navarrete. Mungkin itu hanya sebagian jalan yang dilalui Santo Ignatius, namun bagi kami cukup berat namun sangat menyenangkan terutama bersama teman-teman yang spektakuler. Kami naik bisa dari Navarrete menuju Madrid. Di bis kami bertukar email, facebook dan saran lain agar kami tetap  bisa berhubungan karena di Madrid nanti kita sudah berada dalam acara masing-masing negara. Kami juga sudah bergabung bersama teman-teman dari ekseprimen lain seperti social action, eucharist workshop. Semua eksperimen yang disajikan sama-sama punya tujuan menggabungkan kami yang berbeda budaya dan bahasa untuk menjadi satu dalam menemukan Tuhan dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Seperti nya kami sudah terbiasa untuk berjalan dan tidak betah untuk berada dalam bis ini lama-lamaJ. Kelompok Magis menginap di Collega Nuestra Duque de Pastrana. Sedih rasanya tidak berjalan lagi bersama mereka, tapi kami masih sering bertemu. Selama kira-kira seminggu di Madrid, workshop World Youth Day tersebar di beberapa tempat di Madrid. Semuanya menarik dari misa penyambutan kedatangan Paus, begitu ramai semua menyambut kedatangan Paus. Pernah suatu ketika saya sedang makan siang bersama 3 orang teman di daerah Colombia dan kami tidak tahu bahwa Paus akan lewat situ, alhasil kami melihat beliau begitu dekat hanya sekitar 2 m di depan kami. Sebuah kebetulan atau memang rencana dari Tuhan kami bisa bertemu Paus. Rasanya dia begitu dekat dengan kami.

Banyak pengalaman-pengalaman yang tidak mungkin saya bisa ceritakan satu per satu. Bertemu dengan Pastur Carmelit yang memberikan kita banyak hadiah padahal niat awal kami hanya berdoa di gereja carmelit itu. Ada juga tarian contemplative yang saya ikuti. Banyak workshop menarik lainnya. 7 hari sudah puas kami menjelajah kota Madrid. Katekese dalam bahasa Spanyol walaupun kurang mengerti tapi rasanya tetap asik dalam mengikutinya. Kami juga mengikuti Way of Cross bersama Paus dengan teman-teman dari Magis Croatia yang membantu jalan kami. Karena saat misa pembukaan kami semua terjebak dalam lautan manusia itu membuat di antara kami kapok untuk hadir, namun saya tidak kapok beramai-ramai antri, akhirnya saya dan beberapa teman Indonesia bersama Magis Croatia berhasil menembus lautan manusia karena teman-teman Croatia dengan badannya yang besar-besar melindungi kami. Teman-teman yang sungguh baik. Kamipun mengikuti Way of Cross yang dipimpin Paus. Tiap malam di tempat grup Magis menginap pun, kami sering doa rosario bersama. Tuhan mempersatukan kami, berbeda bahasa, namuan saat berdoa Bapa Kami dan Salam Maria bersama rasanya nyambung dan indah sekali.

Sebagai penutup yaitu Vigil Night di Cuantro Vientos, adorasi yang begitu khusuk dan diliputi hujan. Father Michael menutupi barang-barang saat hujan turun dengan jaket dan kain yang ia punya. Benar-benar seperti seorang Bapak yang mengayomi. Misa pagi hari bersama Paus, walalupun Paus berbicara dalam bahasa Spanyol, Father Michael menerjemahkannya kepada kami sehingga kami megerti. Dan yang membuat terharu saat bekal makan siangnya ia bagikan kepada kami sebagai hosti karena saat itu terlalu crowded dan tidak mungkin untuk menunggu hosti yang dibagikan prodiakon disitu apalagi dari Paus. Sore harinya, teman-teman Hungaria harus kembali ke negara mereka dengan bis. Perpisahan sore harinya dengan mereka terasa begitu sedih. Begitu juga dengan teman-teman lain Andrew dari Barcelona yang sering sekali berkumpul bersama Magis Indonesia, Sandy dari Thailand, dan teman-teman lain yang hebat. Senang rasanya bisa mengenal mereka. Say Goodbye to Magis friendsJ
Kami masih  2 hari menunggu pesawat ke Indonesia. Hari itu giliran teman dari Polandia pulang. Hal yang membuat haru karena saya dan kak Bella (Magis Jogja) diajak Father Wojtek dari Polandia saat mereka misa penutupan kami berdua hadir disana. dan begitu menyentuh saat misa dalam bahasa Polandia yang sama sekali tidak saya mengerti tapi saya bisa merasakan ujud dari misa mendoakan kami dari Indonesia agar selamat sampai tujuan. Rasanya haru dan bahagia sekali. Father Wojtek begitu terbuka dan sangat baik. Selama perjalanan dia juga sering membantu saya membawa barang-barang, mengobrol tentang banyak hal, dan yang paling saya ingat dia berkata “To be found, first we must be lost” karena sebelum jadi Jesuit dia adalah seorang preman yang suka mabuk. Hal itu saya ingat sekali dan mungkin tidak akan saya lupa.

Rangkaian kegiatan Magis-World Youth Day usai sudah. Terlalu singkat? Tidak juga. Lega dan bersyukur pada Tuhan bisa punya pengalaman yang indah terlebih saat peregrinasi.
Saya merasa ini seperti sebuah ilusi tapi dalam proses inilah saya merasa ini bukan imajinasi belaka tapi ini nyata dan Tuhan lah yang menhidupkan semuanya ini sehingga rasanya begitu indah. Kehangatan dari para Jesuit disini yang mengayomi dan memperhatikan kami, teman-teman yang begitu unik dan baik hati hingga saat perpisahan pun ada yang berkata “Why did you live so far?”. Mereka akan selalu saya ingat dalam hati dan doa. Semoga suatu saat nanti kami dapat dipertemukan kembali dalam pengalaman menemukan Tuhan lebih dalam lagi. Pertemuan dengan mereka begitu indah dan menjadi salah satu memori yang tidak akan saya lupakan. Apalagi berjalan 8 hari dengan rute yang menantang? Rasanya ingin melanjutkan rute pregrinasi Santo Ignatius yang lain J
Someone who goes on a pilgrimage “prays with his feet” and experiences with all sense that his entire life is one long journey to God (YOUCAT)


                                                                                                                Maria Anindita Nareswari (Esi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISFIT Preparation

Semenjak pengumuman dr ISFIT Norway awal November lalu (saya ingat sekali tepatnya tanggal 4 November, saya sungguh hampir lupa saya pernah apply, saat itu saya sedang menginap di rumah teman saya Audrey sehabis bekerja hingga larut malam, saya sungguh tidak membayangkan ini terjadi tapi Tuhan membukakan jalan, semoga bisa mengerjakan dengan baik:D). Sebelumnya flashback sedikit tentang proses saya mendaftar. Saya mengetahui ISFIT dari beberapa teman di UI dan sahabat saya Septian yang menjadi delegasi ISFIT tahun 2013. Saat itu, saya melihat topik-topiknya, membaca websitenya di isfit.org. Sangat menarik. Topiknya berada di antara isu-isu sosial, politik, hukum, dan topik global lainnya. Cara seleksi untuk mengikuti ISFIT ini adalah dengan mengirim 2 esai (sebetulnya 3, tapi esai ketiga ini tidak wajib, dan itu jika ingin mendapat travel support, karena ISFIT hanya menanggung akomodasi dan transportasi selama disana, tiket pulang pergi dari negara tidak ditanggung). Karena samb...

Kelas Inspirasi Bojonegoro, 2 Mei 2016

Daerah, bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan di Indonesia. Sarat dengan problema. Tidak jarang konflik timbul antara pusat dan daerah. Termasuk masalah pembangunan bidang-bidang fundamental salah satunya pendidikan. Pasalnya, belum banyak yang menyadari bahwa sedemikian pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bukan hanya kognitif semata, tapi afeksi, moral dan pendidikan dalam pelajaran hidup lainnya. Hati ini yang menggerakkan untuk melangkahkan kaki menuju Bojonegoro, di hari pembuka di bulan Mei yang lalu. Tiba di Surabaya pk 07.00 setelah pagi hari saya mengambil flight pagi dari Soekarno-Hatta, saya naik bus Damri dari bandara Juanda menuju Bungur, sampai di Bungur pk 8.15. Di Bungur, saya mengambil bus jurusan Bojonegoro. Perjalanan hari itu sangat menyenangkan, tidak terlalu ramai, naik bus di daerah yang cukup asing buat saya, tapi saya sungguh sangat menikmatinya. Menyenangkan sekali naik bus antar kota di Jawa Timur. Saya tiba di termi...

Kala Hujan Di Puncak Merapi

Jumat di pertengahan Maret menghantar kami menuju salah satu ciptaan Tuhan yang tentunya tidak kalah  indah dari ciptaan lainnya di alam semesta ini, yang membentang di bagian tengah Pulau Jawa, sebagian menyebutnya angker, tetapi kami sungguh sudah menantinya, Gunung Merapi, 2930 mdpl. Kisah kami dimulai dari hari itu, setelah lelah kami bekerja. Bagi saya saat ini, waktu untuk bercengkrama dengan alam sangatlah terbatas. Tidak semudah dahulu setiap bosan bisa pergi ke pantai atau gunung dalam tiap bulan. Sekarang, situasinya berbeda. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan, bukan? Tetaplah ingat betapa berharganya waktu bersama orang-orang yang kita sayangi. Memasuki sore dengan cuaca cerah, berangkatlah kami dari Stasiun Senen Jakarta menuju Stasiun Solojebres. `Dini hari Sabtu, kami telah tiba di stasiun, menunggu Pak Nardi menjemput kami ke basecamp Merapi di Selo. Teman perjalanan saya dalam pendakian Merapi ini: Yupi, Ismi, Hilmi, Raihan, Bams, Handoyo, d...