Um mundo criado sem fronteiras para ser mais
Povos cores ebandeiras sinal de paz
O mundo sonhado sembarreiras por gente que traz
beleza poesia esperanca alegria
Everything
happens for a reason
J. Saya yakin dan percaya bahwa semua yang terjadi
dalam hidup kita adalah rencana Tuhan J Mungkin saya bukan orang yang
pandai bercerita dengan bahasa bagus atau puitis. Tapi kali
ini saya ingin
membagi sedikit pengalaman yang saya rasakan selama ‘menemukan’ Tuhan lewat
experiment bersama kelompok Magis dan World
Youth Day, Brazil 2013. J
Tepatnya hari Selasa,
tanggal 9 Juli 2013, kami dari kelompok Magis Indonesia akan berangkat menuju
Brazil (dalam Portugis: Brasil) untuk mengikuti kegiatan Magis dan WYD Brasil
2013 ini. Dengan jumlah 8 orang (6 orang dari Magis Jakarta, 2 orang dari Magis
Jogjakarta) kami tergabung dari delegasi Indonesia berangkat menuju Sao Paulo
dengan terlebih dahulu menuju Istanbul. Magis adalah kelompok awam yang
menghidupi spiritualitas Ignasian, dibimbing frater-frater dan Romo Jesuit, mengadakan
pertemuan sebulan sekali. Kami siap berangka sebagai pigrim/peziarah bersiap
untuk menjalani experience bersama kelompok Magis dari seluruh dunia yang telah
diorganisir oleh Society of Jesus dan bersama-sama kelompok rohani lain lebih
tepatnya orang Katolik seluruh dunia mencari Tuhan lebih dalam lewat World Youth Day.
Perjalanan memakan
waktu kurang lebih 27 jam ditambah dengan transit dsb mungkin sekitar 29 jam-30 jam. Perjalanan yang menyenangkan namun
cukup menguras tenaga.
Kami sampai di Brasil
waktu Brasil tanggal 10 Juli jam 5 sore. Perbedaan waktu antara Brasil dan
Indonesia adalah 10 jam (Indonesia lebih cepat 10 jam). Saya merasa sukacita
yang begitu besar ketika sampai, excited akan pengalaman yang akan terjadi,
lelah, capai pasti tapi semangat yang begitu besar ada dalam diri saya. Begitu
tidak sabar untuk menjalani proses ini. Dengan berat hati masih meninggalkan
Indonesia (karena sehari sebelum berangkat ini saya masih magang, dengan
kenyamanan dan kehangatan orang-orang di Komisi Yudisial tempat saya menjalani
magang) dan saya harus meninggalkan untuk hal ini.
Sesampainya di Sao
Paulo, kami menginap semalam di tempat romo-romo SVD masih di sekitar Sao Paulo
dan tidak begitu jauh dari bandara. Kalau saya tidak salah ingat namanya Esprito Santo (dalam bahasa Indonesia
artinya Roh Kudus).
Kami disambut dengan
sangat hangat, dikumpulkan dengan orang-orang paroki sana, dijamu dengan
makanan Indonesia yang divariasikan dengan hidangan Brasil, ikan patin,
guarana, puding karamel, beer, dsb. Semuanya menghilangkan rasa lelah kami.
Padre (pastur) disana yang menemani kami ialah Padre Emen, Padre Fernando,
Padre Poly, Padre Petrus, Padre Romanus, dan bersama orang-orang baik lainnya
seperti suster Lusia, Maria Antonia, etc. Kami malam itu disambut dengan
kebaikan dan kehangatan mereka. Sekalipun kami lelah tapi keramahan yang tiada
habisnya. Mereka sudah lama tinggal di Brasil, kami banyak mendengarkan dari
mereka banyak hal tentang Brasil, karya mereka disini, sejarah SVD dan
pengalaman menarik lainnya, dll. Esok harinya kami berkeliling di sekitar
pastoran itu, udara dingin namun kami sangat menikmatinya.
Sore hari tiba saatnya
kami harus ke bandara untuk pergi ke Salvador, dengan penerbangan lokal menuju
Salvador Bahia. Saatnya kembali berpisah dengan kebaikan orang-orang disini.
Kami tiba di Salvador
Bahia sekitar pk 02.00 pagi dan menunggu di bandara untuk menunggu dijemput
oleh bis Magis. Kami sudah banyak bertemu teman-teman dari Hongkong, Taiwan,
Venezuela, senang rasanya harapan kebahagiaan bersama teman-teman Magis yang
saya rasakan 2 tahun lalu akan terulang kembali. Excited! Setelah registrasi,
kami diantar berkeliling di tempat kami menginap yaitu Colegio Antonio Vieira, salah satu sekolah jesuit terbesar di
Salvador.
Dua hari disana
perasaan campur aduk, lelah dan jetlag, namun juga semangat. Pembukaan diadakan
dengan lagu-lagu pengiring yang memukau terutama Hymne Magis 2013 dengan
petikan “Eu peregrino que so, em
companhia sempre estou, Eu peregrino que so, juntando mais gente agora eu vou”.
Dari 40 negara dengan jumlah peserta kurang lebih 2000 orang, kami berkumpul. Esperam por nos nacoes itulah tema yang
dibuat oleh Jesuitas Brasil tahun ini yang artinya Nations Awaits Us. Pesan Father General Jesuit yaitu Adolfo Nicolas
dalam buku Pilgrim Magis “We’re not
tourists, we’re pilgrims” itu menjadi panutan bagi Magis, artinya kita
bukan menjadi turis disana tapi menjadi seorang peziarah. Kita sebagai kaum
muda yang energik adalah masa depan Gereja, harus terus menyebarkan kasih Allah
tanpa batas, tanpa border sehinnga akhirnya semua dunia merasakan kasih Allah
itu. Opening dilakukan oleh koordinator Magis Brasil, Adilson Silva SJ, bendera
semua negara yang dijahit menjadi satu yang dibentangkan menjadi tanda
dibukanya acara ini.
Opening mass yang
diadakan Magis esok paginya membangkitkan semangat kami untuk semakin menemukan
Tuhan dalam segala hal. Renungan dan doa yang kami lakukan bersama mengenai set our path, conference Magis tentang berbagai macam pertanyaan kepada berbagai
delegasi misalnya pada delegasi negara dimana Christian bukan sebagai
majority, seorang frater dari India menjawabnya dengan sangat baik dan sangat
memberi inspirasi. Intinya en todo amar y
servir yang menjadi semangat Ignasian itu harus terus dikembangkan. In all, love and service (dalam segala
hal mencintai dan melayani). Selanjutnya
kami melakukan city tour tanggal 13 Juli di Salvador Bahia. Salvador adalah
kota kecil yang menyenangkan, dengan udara yang bisa dibilang cukup panas untuk
bulan sekarang ini di daerah Brasil. Berbeda dengan Sao Paulo yang adalah kota
terbesar di Amerika Latin (walaupun kami belum banyak mengeksplor Sao Paulo,
tapi kami akan menjalan eksperimen disana nanti sehingga sudah ada bayangan).
Selama di Salvador hampir tiap pagi kami misa tiap hari. Kami melakukan city
tour bersama panitia Magis dr Brasil, kami pergi ke Katedral Salvador, Mosteiro
de Sao Bento, Praca Castro Alves, dan bangunan-bangunan di kota ini yang sangat
memukau. Flash Mob bersama teman-teman Magis diadakan di Pelourinho, Salvador
dengan lagu “We are full of wonder”
juga menambah semangat kami.
Malam itu terus
dilanjutkan dengan Nations Festival pada malam harinya. Delegasi Indonesia
menampilkan Tari Renggong Manis. Sekitar 20 negara menampilkan kebudayaannya
malam itu. Tarian Gangnam Style dari teman-teman Taiwan, dansa cantik khas
Amerika Latin dari teman-teman Paraguay, Argentina, dsb. Tibalah saatnya kami
menampilkan tarian yang sudah kami latih di Indonesia. Kami sangat bersyukur,
semua menyukai tarian kami. Setidaknya kami seperti artis malam itu. hehe Kami
juga tidak menyangka, kami hanya melakukan yang terbaik dan berusaha memuji
Tuhan lewat tarian itu. Kenangan di Salvador begitu indah. Misa, flash mob,
city tour, Nations Festival, Magis Conference menambah semaraknya suasana di
Negeri Samba ini. See you Salvador, semoga suatu saat bisa kembali ke kota
kecil yang indah ini! Kami siap untuk disebar dalam kelompok-kelompok yang
menjalani eksperimen di berbagai tempat di Brazil.
Peregrinasi
Esok harinya, kami
harus bersiap untuk eksperimen. Sore hari pk 17.30 kami harus bersiap menuju
Sao Paulo, untuk menjalani peregrinasi dari Peruibe menuju Sao Bernardo de
Campo. Kembali ke Sao Paulo lagi :D
Sekitar senin pagi tanggal 15 Juli kami tiba di Colegio Sao Fransisco Xavier, Sao Paulo. Semua kelompok yang akan menjalani eksperiment di Sao Paulo sebelumnya berkumpul di sekolah Jesuit yang indah ini. Bersama teman-teman dari Brazil sebagai koordinator, Prancis, dan Chile kami akan berjalan bersama selama kurang lebih seminggu (termasuk jalan kaki dan naik bis). Dari awal kami sudah diberi tahu akan menjalani eksperimen yaitu peregrinasi, berjalan kaki selama 5 hari dengan total sekitar 118 km (25 km sehari). Saya merasa kuat dan tidak khawatir seperti peregrinasi yang 2 tahun lalu saya jalani karena saya merasa Tuhan sudah memberi saya kekuatan (bandingkan dengan 2 tahun lalu saya punya ketakutan yang luar biasa karena belum pernah mengalami ini sebelumnya. Sekarang rasanya seperti punya kekuatan lebih :D)
Hari pertama kami hanya berkeliling di Sao Paulo, sambil berkenalan dengan teman-teman yang akan bersama-sama selama seminggu ini. Kami menyusuri jalan menuju taman Paulista di daerah Ipiranga. Kami memulai permainan berkenalan dengan menuliskan diri kita lewat bahasa masing-masing, dimasukkan ke dalam balon kemudian diletuskan dan kita harus mengambil punya orang lain. Saya mengambil punya Maria dari Chile, dan kertas saya diambil oleh Stan dari France. Lucunya dalam kelompok ini selalu berbicara dan diterjemahkan dalam 3 bahasa. Koordinator berbicara Portugis, diterjemahkan ke Inggris, Spanyol, dan Prancis dikarenakan beberapa teman Chile dan Prancis ada yang tidak berbahasa Inggris. Lucu tapi seru! Sorenya kami berkeliling ke central Sao Paulo, melihat Katedral, Patung Anchieta (seorang Jesuit penemu kota Sao Paulo), melihat Tribunal Justice of Sao Paulo, gereja-gereja di sekitarnya seperti Igreja de Sao Fransisco de Assis, senang sekali bisa berkeliling kota indah itu, berdoa pada setiap gereja yang kami kunjungi.
Hari kedua kami memulai perjalanan kami dengan kaki ini. Anggap saja “we pray with our feet”. Kami berjalan di Peruibe menyusuri pantai. Udara cukup dingin. Kami mulai saling berkenalan selama perjalanan. Rasanya menyenangkan sekali. Dari Brazil ada Renato, Gabriel, Erik, Marcio, Homero (frater Jesuit Mexico namun belajar di Brazil), dan Anna. Erik, Marcio dan Renato adalah guru sekolah Jesuit yang kami tempati tadi yaitu Sao Fransisco Xavier. Dari Chile ada Cony, Jorge, Ivan, Isabel, Maria, Ricardo. Dari Prancis ada frater diosesan Mike, Stan, Judit, Louic, Louis Vianney, Noemi, Crotylde, dan Sandrine. Merekalah yang akan menjadi teman seperjalanan kami sampai seminggu ke depan.
Sesudah seharian berjalan kurang lebih 25 km, kami sampai di Itanhaem. Kami bermalam di sebuah gereja sederhana namun sangat nyaman bernama kalau tidak salah ingat Mary the Conception. Tidur di pastoran gereja dengan hampir 30 orang dalam satu ruangan bergelar matras dan sleeping bag, rasanya unik dan momen yang mungkin takkan sering terjadi. Seru! Kami juga dijamu dengan makanan enak oleh orang paroki sana yang sangat baik, menyusuri pantai seharian memang membuat perut lapar dan dalam perjalanan masih membayangkan makanan lezat khas Indonesia.
Esok harinya (hari ketiga), matahari bersinar dengan sangat terik. Cukup berat untuk memulai perjalanan karena takut akan terbakarnya kulit. Lapar di tengah jalan juga adalah salah satu hambatanku dikarenakan kami harus menahan rasa lapar itu hingga nanti siang. Pagi itu rasanya semuanya seperti melawan diri saya. Matahari yang sangat panas (sekalipun anginnya dingin), rasa lapar, berbeda dengan hari pertama yang terasa begitu menyenangkan. Walaupun agak menurunkan mood, tapi saya berusaha lawan itu.
Sedari awal saya sangat menikmati perjalanan ini karena saya tahu tujuan dan makna dalam perjalanan saya kesini ialah saya yang menemukan sendiri lewat orang-orang dan segala peristiwa yang terjadi di sini. Jadi istilahnya berusaha mengeluarkan energi positif dalam pikiran sehari-hari hehe. Perjalanan menuju Mongagua terasa jadi menyenangkan. Takut akan kulit hitam dan terbakar itu pasti, tapi yang penting adalah menikmati perjalanan ini..haha
Malam hari kami tiba di Mongagua.
Dua tahun lalu saya
juga melakukan peregrinasi dalam Magis dan WYD di Spain 2011 yaitu jalan kaki
selama 8 hari dari Loyola menuju Navarrete. Tidak bermaksud untuk membandingkan
pengalaman ini karena saya tahu pasti ada pengalaman berharga yang Tuhan beri
di tiap peristiwa J Saya merasa kali ini tidak seberat 2
tahun lalu yang saya jalani. hehe mungkin saya makin bertambah besar atau lebih
bertenaga, tapi peluh dan keringat yang saya rasakan tidak seberat 2 tahun
lalu, tentu di satu sisi saya sangat merasa bersyukur karena Tuhan memberi
kekuatan saya begitu kuatnya sehingga saya tidak terlalu merasakan letih itu.
Jalan yang kami tempuh ialah mengikuti jejak Anchieta, Jesuit pertama yang menemukan kota Sao Paulo.
Selama perjalanan ini
bersama dengan teman-teman Brazil sebagai koordinator, Prancis dan Chile sangat
menyenangkan bisa berjalan bersama mereka. Saya juga belajar banyak hal dari
seorang frater Jesuit berkewarganegaraan Meksiko yang tugas di Brazil (sebut
saja Homero). Menurut saya tentang hidupnya memberi saya banyak inspirasi. Mungkin
sederhana tapi bagi saya berubah haluan hidup bukanlah hal yang gampang. Ia
dulunya adalah mahasiswa hukum yang ingin jadi lawyer, dengan tantangan dari
seluruh keluargnya akhirnya ia masuk Jesuit. Membanting setir dalam hidup yang
penuh resiko itu memang pilihan
hidup orang.
hidup orang.
Ada lagi yang berkesan yaitu seorang teman Brazil bernama Gabriel memberi saya pulpen, sederhana tapi saya sangat menyukainya. Tulisannya “Practising Law”, karena saya bertanya-tanya terus padanya tentang Tribunal Justice di Sao Paulo saat hari pertama kita bertemu. Sederhana tapi membuat saya bahagia. Juga berbincang-bincang dengan Stan yang adalah seorang tentara Prancis tentang banyak hal membuat jalan terasa menyenangkan, ia bercerita tentang tugasnya di Afrika, gunung-gunung yang tiap hari ia hadapi, kakinya yang masih luka dari tugasnya beberapa bulan lalu, tentang sejarah-sejarah Prancis, sangat nyaman berbicara dengannyaJ Saya juga bercerita tentang mimpi-mimpi saya padanya. Atau dengan Cony, Ivan, Jorge, Ricardo yang walaupun tidak lancar berbahasa Inggris tetapi nyaman sekali dekat dengan mereka. Hanya Isa dan Maria dari Chile yang lancar berbahasa Inggris. Kami juga sempat berdoa rosario sepanjang perjalanan bersama teman-teman Chile, dengan bahasa kami masing-masing. Rindu dengan suasana itu, saya pernah melakukannya dengan teman dari Croatia. Walaupun bahasa kami berbeda tapi dalam doa terasa menyatu.
Malam harinya di paroki Mongagua kami disambut dengan meriah oleh orang-orang paroki sana. Luar biasa sambutan mereka, kami diajak menari, bernyanyi, main bola, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Sampai sekarang kami masih menjalin kontak dengan mereka. Mereka juga ikut dalam JMJ (Jornada Mundial da Juventude, bahasa Portugis dari World Youth Day). Sehabis makan malam, kami masih menari dan bernyanyi seharian. Mungkin pikiranya tampang Asia seperti kami sangat unik.hehe Saya, kak Vera, dan kak Fitri hingga larut malam masih menemani mereka. Kami tidak bisa berbahasa Portugis tapi rasanya menyenangkan sekali.
Di hari berikutnya (hari ketiga), masih dengan matahari yang bersinar terik yang menjadi penghalang, masih menyusuri pantai di sekitar Mongagua, saat siang hari kami makan di pinggir pantai. Sambil merenung, sambil memikirkan pengalaman kami. Berbeda orang, berbeda juga kedekatan kami. Tidak bermaksud membandingkan juga dengan 2 tahun lalu saat bersama teman-teman Hungary dan Poland, dalam hari ketiga kami sudah bisa akrab dan bisa ngobrol dengan semua. Kali ini, beberapa orang kami belum bisa dekat (kurang lebih dari Indonesia menganggap seperti itu) karena beberapa orang Prancis sepertinya menjaga jarak, tapi itu tidak masalah untuk kami. Tim ini lucu, kami berbicara dalam tiga bahasa yang berbeda. Tidak ada yang menggunakan bahasa Inggris sebagai mother language. Tapi saya merindukan suasana ini, setiap satu kalimat diterjemahkan dalam 3 bahasa karena hanya beberapa orang saja yang berbicara bahasa Inggris. Tapi kami tahu mereka semua baik hati, hanya saja belum begitu menyatu. hehe
Stan dan Judit teman Prancis menurut saya yang paling friendly dan terbuka dibanding lainnya. Malam pertama saat masih di Itanhaem dalam magis circle saya bercerita tentang tidak adanya kebetulan jadi saya percaya mereka inilah yang dikirim Tuhan pada saya untuk belajar dari mereka, untuk mengalami pengalaman iman bersama. Setiap delegasi Indonesia circle pada malam harinya (sharing pengalaman sehari) kami selalu punya target untuk diajak berkenalan terutama bagi yang jarang ngobrol karena kendala bahasa. Saya berusaha menanamkan bahwa hidup adalah untuk hari ini, bukan kemarin atau esok.. so live life to the fullest!
Maria, seorang teologist dari Chile, saya juga sharing tentang pengalaman hidup kami masing-masing. Maria umurnya 35 tahun, dan tahun depan akan menikah, dia tidak tertutup sama sekali menceritakan masalah pribadinya bahwa ia sudah pernah bercerai dan ia berharap pernikahannya tahun depan adalah untuk selamanya. Saya tidak menyangka masalah hidup orang sebegitu rumitnya hingga harus bercerai walaupun Gereja Katolik tidak mengakui perceraian. Dia juga bercerita tentang pacarnya, kehidupan di Chile dan berbagai hal yang membuat perjalanan terasa menyenangkan.
Beberapa orang yang
sebelumnya belum pernah mengobrol pun akhirnya kami mengobrol :D Menyenangkan
sekali. Dengan bahasa tubuh tidak masalah yang penting berusaha, dianggap sok
kenal juga tidak menjadi masalah bagi kita, yang penting tebarkan terus
keramahan dan kebaikan hati kita. haha
Tujuan kami hari itu
ialah Sao Vicente. Kota yang indah, dikelilingi pantai (kami menyebutnya
seperti pantai Miami hehe), di dekat pantai terdapat fountain atau mata air
tempat Santo Anchieta pernah melakukan perjalanan kesini. Ada juga tugu
pembebasan Brazil dari Portugis di pinggir pantai. Perjalanan hari itu sangat
tidak berat, matahari yang terik tidak menjadi masalah untuk kami. Kami
menginap di sekolahan Sao Gabriel, sore harinya kami main di pantai, datang ke
pesta makanan tradisional, dan malamnya misa di paroki Sao Vicente.
Hari itu hari Jumat, rupanya menjadi hari terakhir kami berjalan. Kami cuma berjalan sampai siang sehingga tidak melelahkan. Entah saya yang merasa lebih kuat atau medan yang tidak sesulit yang saya alami 2 tahun lalu, yang pasti saya sangat menikmati proses ini. Ngobrol dengan teman-teman, belajar dari pengalaman hidup masing-masing orang yang berbeda dengan kita tentunya menjadi pelajaran berharga bagi saya. Renato yang berani mengambil jalan hidup yang berbeda dari yang orang tua anjurkan padanya, Anna yang selalu bersemangat, Gabriel yang rajin belajar, mempelajari segala hal karena ingin mendampingi kita, Stan yang selalu bekerja di daerah yang penuh tantangan. Super!:)
Sehabis makan siang, kami naik trem di Santos menyenangkan sekali. Gabriel menjelaskan pada saya dan kak Priska tentang berbagai macam bangunan di Santos. Dia memang luar biasa. Naik trem di Santos ini membuat hati ini berat mengingat tinggal seminggu lagi kami di Brasil, dan harus kembali ke Indonesia hehe. Kami juga pergi ke Museum Kopi (Museu da Cafe). Karena kopi adalah komoditas ekspor Brazil yang terkenal, Erik sebagai koordinator (dan guru sejarah yang handal) menjelaskan kopi secara lengkap dari A-Z. Amazing! Saya jadi membayangkan kalau guru sejarah di sekolah-sekolah semuanya seperti Erik pasti tidak akan bosan. Malam harinya kami menonton konser Rexband dari India haha.. Ada teman-teman yang suka ada juga yang tidak. Peregrinasi kali ini campur aduk rasanya, tidak sepenuhnya berat bahkan bisa dibilang sangat tidak berat untuk medan tapi lebih mengenal kota-kotanya secara lebih dekat, sehingga tidak melulu berjalan kaki. Siapa tahu suatu saat bisa kembali lagi. hehe
Rute awal hari berikutnya ialah menuju Sao Bernardo do Campo tetapi dikarenakan cuaca buruk sehingga perjalanan hari itu (dimana seharusnya kami naik gunung) dibatalkan. Ada rasa sedih karena saya rindu akan naik gunung, saya bukan tipe orang yang sering naik gunung seperti teman-teman yang lain, makanya disaat ada kesempatan saya ingin sekali. Tapi apa daya mungkin memang sudah rencana Tuhan. Ambil positifnya saja, saat itupun kaki saya sudah kapalan karena sepatu yang saya kenakan kurang nyaman sehingga mungkin ini jalan yang terbaik.
Sedih rasanya berpisah dengan beberapa koordinator Gabriel, Erik, Marcio karena mereka tidak ikut kami ke Rio de Janeiro. Mereka akan stay di Sao Paulo. Sedihnya berpisah dengan roang-orang baik ini, tetapi ada pertemuan ada perpisahan bukan. Seperti itulah hidup kita berjalan. Pagi hari itu sebelum kembali ke sekolah kami saling berpisah. Beberapa dari mereka menangis terharu.
Kami kembali ke sekolah Sao Fransisco Xavier, bertemu dengan kelompok-kelompok eksperimen lain. Kami tidak lagi menggotong tas carrier menyusuri pantai dengan matahari yang terik namun duara dingin, atau menahan lapar karena makan siang masih di depan sekitar beberapa km. Kami sangat merindukan perjalanan kami. Kami memberi kenang-kenangan pada Erik, Marcio, Gabriel, dan Anna.
Malam harinya diadakan
misa kemudian dilanjutkan dengan barbeque, kembali berkumpul dengan teman-teman
peregrinasi. Tiba jam 10 pm, saatnya kami harus berangkat ke Rio de Janeiro.
Berpisah dengan para koordinator yang baik hati, mengantarkan kita hingga masuk
bis. See you Sao Paulo! J
World Youth Day
Kami tiba di Rio de
Janeiro pk 5.30 pagi hari Minggu. Kami menginap di Colegio Santo Inacio,
Botafogo. Letaknya sangat dekat dengan Cristo Redentor/Christ the Reedemer,
keajaiban dunia khas Rio ini. Kami pergi kesana. Udara sangat dingin. Kami
berdoa lalu berfoto, saat itu kabut sangat tebal jadi Cristo Redento sering
tertutup, saat kabut hilang orang bertepuk tangan lagi. Saat itu rasanya
seperti mimpi. Mungkin sedikit berlebihan tapi tempat ini sebelumnya hanya
kulihat di internet tapi sekarang nyata. Sungguh berterima kasih pada Tuhan
atas pengalaman ini. Bukan pada tempatnya, tapi atas pengalaman bersama
teman-teman dari seluruh dunia di tempat ini.
Acara di JMJ lebih bebas. Kami mengikuti katekese di paroki Pidade (cukup jauh dari tempat kami menginap) intinya tentang hope/harapan, bahwasanya jangan pernah berhenti berharap karena kalau kita menggantungkan harapan kita akan Kristus pasti Ia akan memeluknya dan memberi jalan pada kita. Begitu banyak pengalaman berharga yang kami dapat serta orang-orang yang kami jumpai setiap harinya.
Misa pembukaan dengan
Uskup Rio de Janeiro. di Copacabana, Way
of Cross dengan Paus dan beberapa acara dan perjalanan selama JMJ yang
penuh suka. Sempat juga saat kami mendatangi vocational fair di Maracana,
begitu ramai orang dan saat kembali ke Metro suasana sempat kacau dan ricuh,
sempat membuat kami shock untuk datang ke keramaian, tapi tidak menghalangi
semangat kami.
Momen puncak ditutup dengan Vigil Night di Praia Copacabana dengan Paus Fransiskus. Sebelumnya kami menunggu di pagar sebelum masuk ke pantai untuk Vigil Night, saat Paus lewat di depan kami, rasanya begitu bahagia, berkatnya terasa sampai ke hati kami. Semua momen-momen bersama Paus ini juga sangat kami nikmati.
Pergi mengunjungi Eskadaria Selaron, Museum Vatikan yang dipamerkan di Museu Nasional De Bela Artes, keindahan pantai di Praia Botafogo, Praia Copacabana, Ipanema dan semua momen yang terjadi bersama-sama ini tentunya jadi pengalaman tersendiri. Ada seorang yang bernama David dari Brazil yang begitu baik hati menemani kita saat berkeliling museum di gereja Santo Inacio atau dengan David yang kami temui di Eskadaria Selaron yang pernah bekerja di Indonesia. Atau melihat beberapa orang cacat yang mengikuti Magis dan WYD adalah suatu momen yang membuat saya tersentuh, bagaimana tidak? Dalam keterbatasan fisik, semangatnya tetap membara untuk mengikuti perjalanan menemukan Tuhan dalam acara ini. Begitu juga dengan kakek-nenek yang rela berdesakan demi melihat Paus. Kesabaran yang diuji saat harus antri makan sebelum Vigil Night, kami harus antri 5 jam lebih untuk mendapat makan! Sungguh menguji kesabaran.
Pesan Paus saat misa
penutupan hari Minggu itu bahwa anak muda adalah masa depan gereja, teruslah
bawa dan sebarkan Injil kemanapun pergi.
Go, serve, and do not be afraid because nations awaits us. Build a new world, break the barrier, go and make all nations disciples.
Go, serve, and do not be afraid because nations awaits us. Build a new world, break the barrier, go and make all nations disciples.
Sampai tiba hari Senin, saatnya kami harus berpisah dengan semua orang yang kami jumpai di Magis dan WYD. Sedih rasanya meninggalkan negeri yang indah ini. Kami menuju Sao Paulo dari Rio, disana kami dijemput Suster Lusia sebelum dini hari kami menunggu penerbangan.
Rangkaian kegiatan Magis-World Youth Day usai sudah. Terlalu singkat? Tidak juga. Lega dan bersyukur pada Tuhan bisa punya pengalaman yang indah terlebih saat peregrinasi.
Saya merasa ini seperti sebuah ilusi tapi dalam proses inilah saya merasa ini bukan imajinasi belaka tapi ini nyata dan Tuhan lah yang menghidupkan semuanya ini sehingga rasanya begitu indah. Kehangatan dari para Jesuit disini yang mengayomi dan memperhatikan kami, teman-teman yang begitu unik dan baik hati sampai ingin menangis saat melihat teman dari Chile yang menangis saat kita pulang, dan Father Michael yang memberi pesan pada saya untuk terus pantang menyerah dalam hidup. Kenangan bersama teman saat berjalan di tepi pantai, makan pizza, naik trem dan sejumlah kenangan itu memutar dalam memori ku. Terutama pesan-pesan Paus dalam JMJ kali ini yang begitu menyentuh.
Semoga suatu saat nanti kami dapat dipertemukan kembali dalam pengalaman menemukan Tuhan lebih dalam lagi. Pertemuan dengan mereka begitu indah dan menjadi salah satu memori yang tidak akan saya lupakan. Apalagi berjalan 5 hari dengan rute yang menantang? Rasanya ingin melanjutkan rute pregrinasi Santo Anchieta yang lain.
Tchau Brasil. Muito Obrigada for 3 wonderful weeks. See you when I see you.:D
Someone
who goes on a pilgrimage “prays with his feet” and experiences with all sense
that his entire life is one long journey to God (YOUCAT)
It is the pleasure of searching and
the pleasure of the adventure. You are nourishing something that’s very
important-your dreams. We must never stop dreaming. Dreams provide nourishment
for the soul, just as a meal does for the body. Many times in our lives we see
our dreams shattered and our desires frustrated, but we have to continue
dreaming. If we don’t, our soul dies. (The Pilgrimage - Paulo Coelho)
Brazilian-Chilean-Indonesian-French.. we walked from Peruibe to Santos :):)
Komentar
Posting Komentar