Langsung ke konten utama
sharing dari seorang pengajar:
Pemimpin, Korupsi, dan Tanggung Jawab

Adjie Suradji

Salah satu yang membedakan pemimpin dan yang bukan pemimpin adalah tanggung jawab.

Tanggung jawab jadi domain kekuasaan sekaligus legitimasi kepemimpinan seorang pemimpin. Kredibilitas seorang pemimpin tervisualisasikan dari derajat tanggung jawabnya. Pemimpin yang tak bertanggung jawab bisa dikategorikan sebagai pemimpin tidak kompeten (Carole Nicolaides, Progressive Leadership).

Pertanyaannya kemudian, ketika korupsi di lingkar oligarki kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan makin brutal, siapa yang seharusnya bertanggung jawab?

Diakui atau tidak, Indonesia tengah berada dalam penguasaan trihibrid—tiga saudara kandung yang beda sifat (kekuasaan, hukum, dan korupsi)—yang telah menyatu secara tak terpisahkan. Namun, yang perlu dicermati bukan sekadar negara ini dalam penguasaan trihibrid semata. Lebih dari itu, menjadi negara macam apa Indonesia pada 10 atau 20 tahun mendatang jika sejak sekarang negara ini sudah dikelola oleh kaum Barbar modern: birokrat korup, politisi busuk, pengacara hitam, dan pengusaha kapitalistik?

Pemimpin selalu berkorelasi dengan tanggung jawab. Meminjam deskripsi Henry Pratt Faiechild dalam Kartini Kartono (1994), pemimpin adalah seorang yang memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisasi, atau mengontrol usaha orang lain melalui prestise, kekuasaan, dan posisi. Apabila deskripsi itu bisa diandalkan—tanpa mengabaikan aspek hukum—korupsi brutal dalam lingkar oligarki kekuasaan sesungguhnya juga menjadi tanggung jawab si pemimpin.

Sayangnya, tanggung jawab jadi terminologi yang ”selalu” dihindari pemimpin. Hampir seluruh kasus korupsi besar di lingkar oligarki kekuasaan ”terjadi seolah-olah tanpa sepengetahuan pemimpin, si pengambil keputusan”. Suatu bentuk kejanggalan luar biasa. Bertolak belakang dengan sistem negara yang menganut birokrasi patrimonial dalam kultur masyarakat paternalistik. Sistem yang menjadikan pemimpin sebagai patron.

Secara anatomistis, korupsi brutal di lingkar oligarki kekuasaan terjadi karena dua sebab. Pertama, tidak ada kompetensi teknis dan moral. Kedua, pemimpin menjadi patron kejahatan. Mengutip William J Chambliss (Criminal Law in Action), ”Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di kalangan bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi kalangan atas yang lebih dahsyat”.
Fenomena ini sekaligus mengisyaratkan korupsi di Indonesia tak pernah berdiri sendiri. Suatu kondisi yang mempersulit usaha pengungkapan kasus secara hukum (konvensional), yang hanya menyandarkan diri pada sistem pembuktian negatief wettelijk stelsel (pidana).

Oleh sebab itu, implementasi dari tanggung jawab pemimpin jadi kunci sukses pemberantasan korupsi. Menjadi pemimpin bukan sekadar untuk hidup enak, dihormati, dikenal banyak orang, tinggal memerintah, dan berpenghasilan besar. Seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab, berkarakter negarawan, dan visioner. Memiliki aktivitas kerja yang tidak termotivasi oleh kehormatan, kemuliaan atau otoritas pribadi, tetapi oleh kesediaannya melayani rakyat.

Banyak cara

Barangkali Benny Moerdani (1932-2004) benar. Ada perbedaan mendasar dalam penghayatan perjuangan pada masa lalu dan sekarang. Generasi pemimpin sekarang adalah generasi masa damai; generasi yang tak mengalami revolusi kemerdekaan. Meski lebih profesional karena memperoleh pendidikan dan pelatihan secara akademis, tetapi miskin tanggung jawab. Akibatnya, negeri ini tidak pernah lagi melahirkan pemimpin sejati.

E fructu arbor cognoscitur—sebuah pohon bisa dikenali dari buahnya. Karakter bangsa bisa dilihat dari kualitas hukum dan kredibilitas pemimpinnya. Ketika Indonesia masih di peringkat ke-100 dari 182 negara terkorup dunia (Fund for Peace, 2012), masihkah kita berani mengatakan bahwa penegak hukum negara ini sudah berada dalam pagar good behaviour dan pemimpin negara ini sudah mengimplementasikan tanggung jawabnya?

Korupsi brutal yang terjadi di lingkar oligarki kekuasaan tidak pernah bisa diberantas dengan hanya mengandalkan hukum (konvensional) dan institusi perkuatannya saja. Memperbanyak hukum justru semakin mempertegas anggapan, ”Corruptissima republica plurimae leges” (semakin korup sebuah republik semakin banyak hukum). Oleh sebab itu, diperlukan implementasi dari bentuk tanggung jawab pemimpin dalam memelopori usaha pemberantasan korupsi.

Memberantas korupsi tak cukup hanya dengan pidato, meneriakkan slogan secara lantang, atau menyerahkan kasus-kasus korupsi ke ranah hukum, tetapi harus dengan tindakan nyata pemimpin secara partisipatoris, yang didasari kejujuran, kelurusan hati, dan tanggung jawab.

Kita semua berharap semoga korupsi tidak menjadi warisan abadi (lasting legacy) di negeri ini. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi. Salah satunya adalah meratifikasi anti-illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) seperti tertuang dalam Pasal 20 United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC), yang sejalan dengan prinsip pembuktian terbalik.

Lantas, pemimpin harus berani menerapkan sanksi sosial yang berkaitan dengan hati nurani dan sikap batin para koruptor. Sanksi sosial yang memiliki derajat efek jera dahsyat adalah tidak hanya memenjarakan koruptor, tetapi juga menyita seluruh harta milik (diserahkan kepada negara), memberlakukan kerja sosial, menjadikan keluarganya (suami/istri dan anak) sebagai anak negara, dan melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus.

”Think Different” dan ”To Crazy One’s” (berpikir beda dan bersikap gila) adalah slogan mendiang Steve Jobs, yang mengantar sukses Apple menjadi produk ikonik dunia. Slogan ini tidak sekadar meninggalkan pesan moral: ”Never Quit!”, tetapi juga mengandung kutipan, ”Seburuk apa pun kondisinya, pemimpin harus bisa menemukan jalan untuk menciptakan sesuatu yang baru”. Pemimpin sejati adalah sosok yang bisa menciptakan ”laut biru” di dalam situasi ”laut” yang sudah ”memerah”.

Indonesia, pasti bisa!

Adjie Suradji Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
http://cetak.kompas.com/read/2012/10/13/02164840/pemimpin.korupsi.dan.tanggung.jawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISFIT Preparation

Semenjak pengumuman dr ISFIT Norway awal November lalu (saya ingat sekali tepatnya tanggal 4 November, saya sungguh hampir lupa saya pernah apply, saat itu saya sedang menginap di rumah teman saya Audrey sehabis bekerja hingga larut malam, saya sungguh tidak membayangkan ini terjadi tapi Tuhan membukakan jalan, semoga bisa mengerjakan dengan baik:D). Sebelumnya flashback sedikit tentang proses saya mendaftar. Saya mengetahui ISFIT dari beberapa teman di UI dan sahabat saya Septian yang menjadi delegasi ISFIT tahun 2013. Saat itu, saya melihat topik-topiknya, membaca websitenya di isfit.org. Sangat menarik. Topiknya berada di antara isu-isu sosial, politik, hukum, dan topik global lainnya. Cara seleksi untuk mengikuti ISFIT ini adalah dengan mengirim 2 esai (sebetulnya 3, tapi esai ketiga ini tidak wajib, dan itu jika ingin mendapat travel support, karena ISFIT hanya menanggung akomodasi dan transportasi selama disana, tiket pulang pergi dari negara tidak ditanggung). Karena samb

West-Central Java 2017

Cibinong-Raiser 2017 Tahun ini berkesempatan mengunjungi tempat ikan hias di Raiser (Pusat Pengembangan dan Pemasaran), Cibinong, sembari menyusun beberapa petunjuk teknis terkait kebijakan perlindungan HAM bersama rekan-rekan KKP. Tempat ini didirikan KKP dan LIPI sebagai upaya bersama pengembangan ikan hias di Indonesia. Alamat: Jalan Raya Bogor, Jakarta KM 47 Nanggewer, Cibinong http://lipi.go.id/berita/raiser-ikan-hias-cibinong-momentum-kebangkitan-bisnis-ikan-hias-indonesia/388 Sukamandi, Subang 2017 Momentum membahagiakan dan memberi motivasi bagi diri sebagai abdi negara saat mendampingi Staf Khusus menjadi pembicara di Balai Diklat Aparatur (BDA) Sukamandi, Subang.   Tempat ini juga merupakan salah satu balai riset KKP untuk penelitian udang galah, ikan lele mutiara, ikan nila srikandi, ikan mas mustika, ikan patin pasupati, gurame, dll. Lokasi: Patoek Beusi, Subang Pak Yunus dan induk lele 5 kg Pak Zulfikar dan Pak W

Kelas Inspirasi Bojonegoro, 2 Mei 2016

Daerah, bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan di Indonesia. Sarat dengan problema. Tidak jarang konflik timbul antara pusat dan daerah. Termasuk masalah pembangunan bidang-bidang fundamental salah satunya pendidikan. Pasalnya, belum banyak yang menyadari bahwa sedemikian pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bukan hanya kognitif semata, tapi afeksi, moral dan pendidikan dalam pelajaran hidup lainnya. Hati ini yang menggerakkan untuk melangkahkan kaki menuju Bojonegoro, di hari pembuka di bulan Mei yang lalu. Tiba di Surabaya pk 07.00 setelah pagi hari saya mengambil flight pagi dari Soekarno-Hatta, saya naik bus Damri dari bandara Juanda menuju Bungur, sampai di Bungur pk 8.15. Di Bungur, saya mengambil bus jurusan Bojonegoro. Perjalanan hari itu sangat menyenangkan, tidak terlalu ramai, naik bus di daerah yang cukup asing buat saya, tapi saya sungguh sangat menikmatinya. Menyenangkan sekali naik bus antar kota di Jawa Timur. Saya tiba di termi