Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat (PSDHM): Penumbuhan Kesadaran Masyarakat akan Hak dan Kewajiban Hukum
Penanaman wawasan
kepada masyarakat mengenai statusnya sebagai subjek hukum serta bagaimana
mereka memperjuangkan haknya adalah suatu hal yang perlu menjadi perhatian.
Pasalnya, seringkali awam tidak tahu menahu mengenai hak dan kewajibannya
sebagai pribadi kodrati. Karena terbatasnya pengetahuan tersebut, mereka sering
dilanda persoalan menyangkut ketidakadilan. Maka, PSDHM sebagai program untuk
memberi penyadaran hukum dan pengorganisasian masyarakat agar paham akan
hak-haknya dan tahu bagaimana memperjuangkan hak tersebut. Dalam buku YLBHI
yang berjudul “Lahirlah LBH, Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan”, dahulu
LBH Jayapura di Papua pernah membuat program PSDHM ini yang diterapkan untuk
masyarakat adat. Tujuannya agar orang Papua paham atas hak ulayatnya. Seperti
yang telah ditulis dalam tulisan Bantuan Hukum Struktural bahwa seringkali
persoalan yang terjadi bukan saja masalah hukum, tetapi juga struktural budaya,
sosial, gender, dan permasalahan lain yang ada.
LBH Jakarta dan LBH-LBH
lain di seluruh Indonesia juga membuat sebuah pelatihan hukum kepada masyarakat
dibantu para legal yang memberi penyuluhan ke masyarakat tentang hukum terutama
terkait hak-hak mereka sebagai warga masyarakat, membuat komunitas dan jaringan-jaringan,
pelatihan ke komunitas buruh, bagaimana membuat surat gugatan, mengajukan
gugatan ke pengadilan, atau membuat dokumen hukum lainnya.
Konsep Bantuan Hukum
Struktural yang ditanamkan LBH ini mendidik masyarakat akan kesadaran
hak-haknya sebagai subjek hukum, salah satunya melalui PSDHM. Misalnya bagi
orang miskin, penanaman wawasan ini adalah bermanfaat untuk:
a.
Adanya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
miskin tentang kepentingan-kepentingan bersama mereka
b.
Adanya pengertian bersama di kalangan
masyarakat miskin tentang perlunya kepentingan-kepentingan mereka dilindungi
oleh hukum
c.
Adanya pengetahuan dan pemahaman di
kalangan masyarakat miskin tentang hak-hak mereka yang telah diakui oleh hukum
d.
Adanya kecakapan dan kemandirian di
kalangan masyarakat miskin untuk mewujudkan hak-hak dan kepentingan-kepentingan
mereka di dalam masyarakat[1]
Klien yang non-sarjana
hukum diberitahukan pengetahuan hukum yang disebut paralegal. Melalui
pendidikan paralegal inilah bantuan hukum dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
hukum dalam masyarakat. Akhirnya nanti paralegal ini mempunyai pengetahuan dan
pemahaman dasar tentang hukum dan HAM, memiliki keterampilan yang memadai serta
mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk memanfaatkan pengetahuannya tersebut
guna memfasilitasi perwujudan HAM masyarakat miskin dan sekitarnya. Paralegal
sebagai seorang yang mempunyai keterampilan hukum walaupun ia bukan seorang
penasehat hukum yang profesional. Dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan
bahwa paralegal adalah
“a person with legal skills, but
who is not an attorney, and who works under the supercision of a lawyer or no
is otherwise authorized by law to use those legal skills. Paralegal courses
leading to derees in such specialty are now afforted by many school.“
Dalam menjalankan
kegiatannya, peran yang dilakukan oleh paralegal adalah mengorganisasi
masyarakat, melakukan penyadaran hukum, sebagai wakil masyarakat dalma
kaitannya berhubungan dengan aparat pemerintah yang berkaitan dengan perkara
atau sengketa, melakukan advokasi (bagaimana para pekerja paralegal masyarakat
mengangkat persoalan mereka ke permukaan dengan menghadap aparat pemerintah
sebagai pembuat keputusan agar memperhatikan kepentingan mereka.[2]
Sebagai implementasi, LBH
Jayapura bekerjasama dengan kalangan gereja secara intensif karena sebagian
masalah terjadi dalam wilayah kerja gereja. Itu sebabnya, gereja acapkali
mengundang LBH untuk memberikan pelatihan pendidikan penyadaran hukum di
wilayah mereka, atau meminta LBH untuk menangani masalah hukum yang menyangkut
kepentingan masyarakat di wilayah tertentu.[3]
Pada akhirnya, warga masyarakat diberdayakan dengan ilmu dan pengetahuan untuk
mengadvokasikan masyarakat di sekitar mereka.
Pelatihan kepada
masyarakat itu ditujukan untuk mencari solusi bersama atas problem yang
dihadapi serta masyarakat juga didorong untuk dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri. Maka, program pengembangan paralegal di level masyarakat dengan
melibatkan tokoh informal, tokoh adat, maupun tokoh masyarakat dan agama
menjadi aktivis paralegal.
Contoh lain yaitu
kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Surabaya adalah pengembangan masyarakat petani Gabes II Batu, Malang,
masyarakat petani garam Sumenep Madura, masyarakat nelayan Kedung Cowek
Surabaya, dan masyarakat nelayan Tepen Gresik. Pengembangan masyarakat petani
Gabes II yang dilakukan oleh paralegal dan tokoh masyarakat setempat bersama
aktivis LBH Surabaya bertujuan adanya penyadaran hukum yang memungkinkan
masyarakat petani baik sendiri-sendiri ataupun secara kolektif mempertahankan
dan memperjuangkan hak-hak mereka.[4]
Dalam
melakukan aktivitas pengembangan masyarakat tersebut, tidak jarang ada kendala
yang dihadapi oleh seorang paralegal, misalnya saat berhubungan dengan
pemerintah, harus dihadapkan pada sulitnya birokrasi lembaga. Tingkat pengetahuan
dan pengalaman yang belum terlalu “makan asam garam” membuat deskripsi tugas
mereka dalam batasan yang tidak terlalu jelas, artinya mereka tidak bisa
beracara sampai pengadilan layaknya seorang advokat. Tugas mereka saat ini
membantu di tingkat lapangan, membantu mobilisasi masyarakat, dan mengadvokasi
masyarakat.
Di Indonesia, hak
bantuan hukum memang tidak secara tegas dinyatakan dalam konstitusi.[5]
Namun, Indonesia adalah negara hukum dan prinsip persamaan di hadapan hukum
adalah hal yang wajib dijunjung tinggi, maka hak bantuan hukum pun sebagai hak
konstitusional harus diwujudkan. Maka, paralegal yang diberdayakan sebagai
‘pembantu pengacara’ harus senantiasa dikembangkan agar kesadaran hukum pada
masyarakat semakin bertambah, masyarakat semakin sadar akan hak-haknya dan
dapat bertindak untuk memperjuangkan haknya.
Pengetahuan hukum yang
tidak menyeluruh tidak dapat menjadi hambatan, namun harus terus dikembangkan
demi memperjuangkan masyarakatnya. Tugas konsultasi/pendampingan diharapkan
membawa masyarakat yang menghadapi masalah segera mendapat pencerahan dan dapat
menyelesaikan masalahnya.
Maria Anindita Nareswari
[1] YLBHI, Verboden
Voor Honden En Inlanders dan Lahirlah LBH: Catatan 40 Tahun Pasang Surut
Keadilan, (Jakarta: YLBHI, 2012),
hal 165
[2] YLBHI, Paralegal dan Akses Masyarakat Terhadap
Keadilan, (Jakarta: YLBHI, 1991),
hal 58
[3] YLBHI, Verboden
Voor Honden En Inlanders dan Lahirlah LBH: Catatan 40 Tahun Pasang Surut
Keadilan, op.cit., hal 191
[4] YLBHI, Paralegal
dan Akses Masyarakat Terhadap Keadilan, op.cit
[5] Berita LBH Jakarta, edisi September-November 2013
Komentar
Posting Komentar