Langsung ke konten utama

Mountain, I'm in love: Merbabu, Papandayan, Gede-Pangrango

Berbagi waktu dengan alam kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya, hakikat manusia
#np OST GIE by Error ft Okta


Gunung Merbabu, 18-19 Juli 2014
Tidak lelahnya Tuhan menawarkan kita dengan rahmat-Nya yang baru setiap hari. Dalam suka dan dalam duka, Dia yang melimpahkan tiap berkatNya. 18 Juli hari ini akan menjadi perjalanan menemukan Tuhan lewat salah satu ciptaannya yang paling indah, sebuah gunung di kota kecil Boyolali, Jawa Tengah Gunung Merbabu.

Jumat pagi kami memulai perjalanan kami, menuju basecamp Merbabu di jalur Selo. Pendakian 3142 mdpl ini adalah pendakian yang cukup tinggi bagi saya, sebelumnya saya pernah mendaki gunung di Spanyol (Arantzazu Mountain) dan Australia (Blue Mountain) tapi tidak setinggi Merbabu. Perkiraan saya Arantzazu dan Blue Moutain ini hanya sekitar 2000an mdpl.

Perjalanan kami mulai dari Jogja, menuju basecamp di Boyolali, perjalanan terasa cukup berat, jalan yang ditempuh cukup berliku menuju basecamp. Sampai akhirnya sekitar 4-5 jam kami sampai. Jumat sekitar jam 12 kami mulai pendakian kami. 

Karena sudah agak lama tidak naik gunung, setengah jam pertama ini terasa cukup berat. Tapi berhenti bukanlah pilihan. Saya terus melanjutnya, dengan sistem 5 cm berjalan (seperti yang ada dalam film hehe). Kalau berhenti jangan duduk, dan melaju terus.

Setiap pos pemberhentian, istirahat sejenak, karena bulan puasa pendakian di gunung ini sangat sepi.

[cerita lengkap segera:D]


Di puncak Merbabu, 3142 mdpl


Sunset menyambut saya di saat saya kelelahan, perjalanan menuju puncak masih sangat panjang







Gunung Papandayan 5-7 September 2014
5-7 September kerinduanku akan gunung segera terobati. Saya akan menanjak dan mendaki lagi, kali ini dengan teman-teman yang berbeda. Tentu saya sangat menikmati momen ketika travelling dengan orang-orang baru.

Puncak gunung 2000an mdpl itu seolah-olah sudah minta didatangi. Saya lupa kapan tepatnya saya jatuh cinta pada gunung, yang pasti sejak pertama naik gunung, walalupun rasanya seperti hipotermia, sesak napas hingga ingin merasa hampir mati, saya jatuh cinta. Ya, jatuh cinta dengan alam. Manis. Tiada habis-habisnya Tuhan menawarkan ciptaanNya yang begitu indah.

Berangkat dari terminal Kampung Rambutan Jakarta pk 23.00, saya melakukan perjalanan ini bersama Arum, Oka, kak Vianney, kak Belle, Mas Fajar, Langit, kak Yahya dan Boyo. Kami naik primajasa menuju terminal Garut.

Perjalanan ke Garut persisnya saya lupa karena malam itu saya tertidur. Kalau tidak salah sebelum subuh kami sudah tiba di terminal Garut. Kami harus menunggu angkot dan mobil pick up untuk sampai di bascamp pendakian Papandayan.

[bersambung]



Dead Forest, Papandayan Mountain

Sepanjang perjalanan gunung ini tiada habisnya menawarkan pemandangan yang sangat indah,




Gede-Pangrango
3-5 Oktober 2014
Lain gunung lain cerita. Gede-Pangrango juga memberikan kisah yang berbeda. 
Pertemuan dengan alam selalu membawa warna dan cerita di setiap sudutnya. Perjalanan menuju sepasang gunung yang cantik di awal bulan Oktober ini membawa memori yang tinggal selamanya dalam pikiran. Ah indah sekali.

Tepat tanggal 3 Oktober malam, kami berkumpul di halte Universitas Indonesia, akan memulai perjalanan kami sampai 5 Oktober. Tim pendakian ini berjumlah 16 orang, semuanya kini menjadi keluarga dan sahabat saya, sebut saja Masdan, kak Ojan, kak Fitri/Mpit, kak Vindy, kak Hilmy, kak Ismi, kak Puspa, kak Yoga, Oki, Reyhan, kak Riza, kak Ania, kak Vici, kak Yupi dan Mas Eko. Saya sendiri awalnya hanya mengenal Masdan, tapi sekarang semua dari kami berteman sangat akrab. Indahnya pendakian gunung salah satunya adalah menemukan keluarga baru.

Kami berjalan dari Depok menuju Cibodas di Jumat malam itu. Karena letih seharian bekerja,  saya tertidur pulas dalam tronton. Kehangatan dengan teman-teman baru hari itu membuat saya tidak sabar menjejakkan kaki di puncak kedua gunung yang sudah menanti kami, Gunung Gede-Pangrango. Pesona keindahan dan kesunyiannya sudah memanggil. Entah kapan saya jatuh cinta pada gunung, yang pasti pendakian esok hari resmi ke-5 kali saya mendaki, menemukan Tuhan dan keindahan alamNya di ribuan meter di atas permukaan laut, sejenak melupakan hingar bingar kota dan setumpuk rutinitasnya, bercengkerama dengan keluarga baru sepanjang seperjalanan.

Pendakian kami menggunakan jalur via Cibodas. Secercah matahari dan udara sejuk disana menyambut Sabtu pagi kami, setelah beristirahat sejenak dari dini hari. Kami siap mendaki gunung di ketinggian 2958 mdpl dan 3019 mdpl.







Gede dan Pangrango pagi itu sudah memanggil. Kami pun siap berangkat.:)
Udaranya sejuk, saya sangat menikmati hari itu. Hawanya berbeda dengan Gunung Papandayan yang cukup panas bila didaki siang hari, sekalipun matahari siang itu tersenyum lebarnya namun langkah kaki ini selalu semangat, bertemu dengan alam dan menyatu disana. Batu-batu yang menjadi halangan bagi tapakan kaki kami, bagi saya yang mungkin tidak ahli sekali dalam mendaki gunung cukup sakit dan seolah berteriak ingin berhenti. Tapi saya harus tetap melangkah. Semangat dan semangat.

Menjelang siang hari langkah kaki saya semakin berat. Dalam pendakian siang itu, saya lebih sering bersama kak Vindy, kak Mpit dan Oki. Mereka teman yang luar biasa, saling menyemangati biar keringat sudah menghujam dengan derasnya seiring dengan turunnya semangat. Kaki yang dipertemukan dengan batu-batuan ini terasa semakin sakit. Rute Gede ini cukup sulit karena biasanya gunung yang sebelumnya saya daki medannya adalah tanah dan bukan batu. Beberapa pos air terjun, air panas, dan hutan-hutan yang sejuk menjadi pemandangan kami mengurangi rasa sakit di kaki saya. Jangan pernah berhenti, Esi!


di tengah hutan dalam pendakian ke puncak Gunung Gede




4 jam sudah kami tiba di Kandang Badak. Kami akan beristirahat sejenak, kemudian membuka tenda untuk bermalam. Istirahat kami 2 jam saja, kemudian kami akan summit ke puncak Gede sore hari itu. Pikir saya setelah beristirahat akan lebih baik, ternyata rute Gunung dengan ketinggian 2958 mdpl ini sulit bukan main. Mungkin tidak terlalu tinggi, tapi perjalanan kesana dipenuhi batu-batu dan tanjakan-tanjakan yang cukup menantang. Kalau di jalan ingin menyerah, saya anggap rute ini pendakian ini sebagai jalan saya menuju hidup yang saya cita-citakan. Kalau begini saja menyerah, bagaimana mau menggapai mimpi-mimpi? :D Pikiran positif itu memotivasi diri saya sendiri.

Semakin sore, semakin kabut, tak menghalangi langkah kami. “Tanjakan setan” yang sangat curam sempat jadi penghalang kami. Tapi, kami tidak menyerah sedikit pun. Kami lewati semuanya, saling tolong menolong, bahu-membahu. Merbabu yang lebih tinggi saja sudah bisa saya lalui, seharusnya Gede pun bisa, ujar saya sambil memotivasi saya sendiri. Karena bukan masalah gunung yang kita taklukan tapi masalah diri kita. Menurunkan ego kita, menolong teman, mengenal alam yang tiada habisnya memberi warna indah bagi kehidupan kita.








Puncak gede pun serasa sedikit lagi tergapai. Kabut sempat menutupi, tapi kami semakin semangat menyambutnya. Tibalah kami di puncak Gede. Ritual saya setiap tiba di puncak Gunung adalah berdoa. Mengucap syukur bisa sampai di ketinggian ini, melewati rute-rute cukup sulit yang mungkin menggambarkan perjalanan hidup kita nantinya. Maka, jangan pernah habis harapan. Saat itu juga beberapa teman menjalankan ibadah sholat disana. Melihat itu saya terharu. Terlebih malah itu malam menyambut Idul Adha, ya 5 Oktober besok adalah hari Raya Idul Adha. Momennya sungguh tepat, walaupun saya tidak merayakannya, tapi saya semangat menyambutnya, melihat teman-teman merayakannya di puncak Gunung yang cantik ini, besok Pangrango sudah menanti.




Puncak Gunung Gede, 2958 mdpl, 4 Oktober 2014. Get lost in nature and we will find ourselves! Kita muda kita bisa!


Malam tiba, kami kembali ke tenda, rute-rute sulit yang kami lewati tadi sore hari semakin berat karena hari sudah gelap. Tapi, menyerah bukan pilihan. Kami terus melaju.

5 Oktober 2014
Pukul setengah 4 pagi di hari Minggu, 5 Oktober 2014, kami menuju gunung Pangrango. Ah semangat sekali pagi itu. Mungkin lebih tinggi dan lebih melelahkan dari Gede, tapi semangat dini hari itu masih menggebu-gebu. Apalagi membaca dan mendengar beberapa cerita teman tentang gunung yang manis ini, tidak sabar ingin summit  di puncak. Perjalanan pagi itu juga cukup sulit, karena suasana masih gelap, udara cukup dingin, dan beberapa teman sekelompok banyak yang sudah kelelahan.




4 jam kami sudah tiba di puncak Pangrango. Mungkin pemandangannya tidak sebagus sewaktu di Merbabu atau Papandayan, tapi keheningan yang ditawarkan membuat saya ingin berlama-lama di tempat itu. Tidak heran Soe Hok Gie jatuh cinta pada gunung ini. Hawa dinginnya, kabutnya, edelweiss-nya yang manis di Mandalawangi. Hari ini, banyak teman sholat Ied berjamaah dengan pendaki lain. Saya sangat senang melihatnya, walaupun saya tidak bisa misa di atas gunung *agak mustahil hehe, saya tetap berdoa dan menghaturkan puji dan syukur pada Tuhan di puncak gunung kedua yang saya daki dalam Sabtu-Minggu ini. Kelihatannya agak mustahil mendaki 2 gunung dalam 2 hari, tapi bagi Tuhan tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Perbedaan itu begitu indah, saya senang sekali di Minggu pertama Oktober ini melihat pemandangan yang mungkin tidak bisa saya lihat setiap hari. Perayaan Idul Adha di puncak gunung ini semakin memperkaya pengalaman dalam perbedaan ini. Berbeda itu indah dan manis.



Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango








Kami bersiap turun ke tenda kami, dan Minggu sore itu kami akan kembali ke Cibodas, dan segera menuju Jakarta. Menghabiskan 2 hari ini di gunung ini serasa begitu cepat. Ingin rasanya tidak pulang, hehe tapi perutusan hidup kita yang sesungguhnya sudah menanti. Ingat cita-cita yang ingin kita capai. Gunung Gede-Pangrango dan teman-teman pendakian sudah memberi pelajaran berharga, menjadi lebih kuat, menjadi lebih cinta akan alam dan Tuhan. Memori bersama di gunung ini tidak akan pernah saya lupakan. Jalur yang cukup sulit tapi ditemani teman-teman yang luar biasa, hari Raya Idul Adha di puncak Pangrango dan Mandalawangi, hembusan angin di tiap langkah yang kami lalui. Sampai bertemu lagi Gede-Pangrango. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, “Aku cinta padamu Pangrango, seperti aku cinta pada keberanian hidup” I do feel the same:) Hidup itu soal keberanian. Menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah, hadapilah.





Film singkat tentang perjalanan kami
http://www.youtube.com/watch?v=0RN6I0Eo1r0


Study nature, love nature, stay close to nature. It will never fail you-Frank Lloyd. Tulisan juga bisa diakses di http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/10/31/gede-pangrango-kami-jatuh-cinta-699829.html



Komentar

  1. Manteppp foto2 nya.. semoga bisa ketemu kalo main2 lagi ke merbabu ya... salam kenal..

    -Prims

    BalasHapus
  2. sama2 sampai ketemu di gunung indah Indonesia lain ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISFIT Preparation

Semenjak pengumuman dr ISFIT Norway awal November lalu (saya ingat sekali tepatnya tanggal 4 November, saya sungguh hampir lupa saya pernah apply, saat itu saya sedang menginap di rumah teman saya Audrey sehabis bekerja hingga larut malam, saya sungguh tidak membayangkan ini terjadi tapi Tuhan membukakan jalan, semoga bisa mengerjakan dengan baik:D). Sebelumnya flashback sedikit tentang proses saya mendaftar. Saya mengetahui ISFIT dari beberapa teman di UI dan sahabat saya Septian yang menjadi delegasi ISFIT tahun 2013. Saat itu, saya melihat topik-topiknya, membaca websitenya di isfit.org. Sangat menarik. Topiknya berada di antara isu-isu sosial, politik, hukum, dan topik global lainnya. Cara seleksi untuk mengikuti ISFIT ini adalah dengan mengirim 2 esai (sebetulnya 3, tapi esai ketiga ini tidak wajib, dan itu jika ingin mendapat travel support, karena ISFIT hanya menanggung akomodasi dan transportasi selama disana, tiket pulang pergi dari negara tidak ditanggung). Karena samb...

Kelas Inspirasi Bojonegoro, 2 Mei 2016

Daerah, bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan di Indonesia. Sarat dengan problema. Tidak jarang konflik timbul antara pusat dan daerah. Termasuk masalah pembangunan bidang-bidang fundamental salah satunya pendidikan. Pasalnya, belum banyak yang menyadari bahwa sedemikian pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bukan hanya kognitif semata, tapi afeksi, moral dan pendidikan dalam pelajaran hidup lainnya. Hati ini yang menggerakkan untuk melangkahkan kaki menuju Bojonegoro, di hari pembuka di bulan Mei yang lalu. Tiba di Surabaya pk 07.00 setelah pagi hari saya mengambil flight pagi dari Soekarno-Hatta, saya naik bus Damri dari bandara Juanda menuju Bungur, sampai di Bungur pk 8.15. Di Bungur, saya mengambil bus jurusan Bojonegoro. Perjalanan hari itu sangat menyenangkan, tidak terlalu ramai, naik bus di daerah yang cukup asing buat saya, tapi saya sungguh sangat menikmatinya. Menyenangkan sekali naik bus antar kota di Jawa Timur. Saya tiba di termi...

Kala Hujan Di Puncak Merapi

Jumat di pertengahan Maret menghantar kami menuju salah satu ciptaan Tuhan yang tentunya tidak kalah  indah dari ciptaan lainnya di alam semesta ini, yang membentang di bagian tengah Pulau Jawa, sebagian menyebutnya angker, tetapi kami sungguh sudah menantinya, Gunung Merapi, 2930 mdpl. Kisah kami dimulai dari hari itu, setelah lelah kami bekerja. Bagi saya saat ini, waktu untuk bercengkrama dengan alam sangatlah terbatas. Tidak semudah dahulu setiap bosan bisa pergi ke pantai atau gunung dalam tiap bulan. Sekarang, situasinya berbeda. Selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan, bukan? Tetaplah ingat betapa berharganya waktu bersama orang-orang yang kita sayangi. Memasuki sore dengan cuaca cerah, berangkatlah kami dari Stasiun Senen Jakarta menuju Stasiun Solojebres. `Dini hari Sabtu, kami telah tiba di stasiun, menunggu Pak Nardi menjemput kami ke basecamp Merapi di Selo. Teman perjalanan saya dalam pendakian Merapi ini: Yupi, Ismi, Hilmi, Raihan, Bams, Handoyo, d...