Berawal
dari sebuah perusahaan pertambangan emas yang masuk dan mengganggu kehidupan
suku-suku di Papua yang hidup tenteram. Masuknya perusahaan itu seharusnya
membuat sejahtera, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Keadaan tersebut
membuat ricuh kehidupan masyarakat disana.
Jika
berbicara tentang HAM (Hak Asasi Manusia) tentu banyak hal dari peristiwa yang
menimpa Papua bisa dikaitkan. Salah satunya ialah tidak tersedianya fasilitas yang mencukupi, yang dijanjikan sebelum
perusahaan tambang PT Freeport Indonesia ini berdiri. Mereka menjanjikan akan
mendirikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan segala hal yang menunjang
keberlangsungan hidup mereka. Namun, apa daya, dari penambangan emas yang bisa
menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat ini, hanya 1% yang disisihkan untuk masyarakat setempat. Dana itu pun
tak seluruhnya mengalir ke rakyat karena masuk ke ‘kantong’ yang lain. Hal ini
tentu sungguh memperihatinkan. Sekolah-sekolah di pedalaman tidak memiliki
guru, tingkat pendidikan rakyat Papua masih sangat rendah. Masyarakat Papua
akhirnya tidak bisa memenuhi kesempatan kerja yang dibutuhkan oleh
perusahaan-perusahaan, tingkat buta huruf rendah, dan persoalan-persoalan pelik
lainnya. Perampasan kesejahteraan, pendidikan adalah sesuatu yang melanggar
hak.
Bisa
dikatakan di daerah Papua yang subur ini, sebenarnya banyak konflik yang
sehari-hari terjadi mulai dari konflik antar suku, perebutan lahan, dan
kekerasan terhadap perempuan. Tetapi dalam penelitian Ibu Eva Anjani “Penyusunan
Peta Kebijakan Penanganan Konflik Sosial di Indonesia”, permasalahan
pokok tentang Papua dikerucutkan hanya dibahas mengenai PT Freeport dan otonomi
daerah khusus di Papua Barat.
Hadirnya
Freeport yaitu sejak zaman Soeharto di tanah Papua adalah simbol dari
kedigdayaan ekonomi AS dan kedaulatan Indonesia. Perusahaan tambang emas dan
tembaga terbesar di muka bumi ini dimiliki oleh Freeport McMoran Copper and
Gold Incyang bermarkas di New Orleans, Louisiana, AS. Freeport sebagai aset
Amerika yang paling berharga di Indonesia.[1] Di samping keunggulan dan
manfaat material yang didapat oleh Freeport, tak bisa menutup mata bahwa terjadi pertentangan dari banyak pihak
karena dengan hadirnya PT Freeport dianggap menimbulkan masalah seperti
pemenuhan hak asasi yang diabaikan, pencemaran lingkungan, dan permasalahan
lain yang menambah buruknya ketidaksetujuan masyarakat akan hadirnya PT
Freeport.
Penduduk
asli Papua yang ada disitu, terdiri dari beberapa suku salah satunya adalah suku
Amungme dan suku Kamoro. Hal yang penting ialah rakyat sebenarnya tidak pernah
memberikan persetujuan kepada Freeport untuk melakukan penambangan. Di daerah
itu masyarakat Amungme sudah hidup sejak dahulu, dan di sekitar itu pula ada
tempat tinggal leluhurnya (mereka sebut dengan Ertsberg). Hadirnya penambangan
di daerah leluhur mereka dianggap menodai nilai moral dan sumber orientasi
kehidupan mereka.
Dampak kerusakan alam yang
juga mengganggu suku mereka. Limbah industri hidup dekat dengan mereka. Sungai
yang biasa dipakai untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak bisa dipergunakan
lagi karena tercemar. Kapal-kapal tiap harinya menggerus emas hingga 6 ribu ton
emas. Ironi, di satu sisi penambangan besar-besaran terjadi namun di sisi lain
masyarakat disekitarnya harus menanggung limbah-limbah akibat industri
tersebut.
Mengenaskannya,
PT Freeport hanya memberi 1% dari pendapatan kotor tahunan selama 10 tahun untuk
mendukung pembangunan masyarakat. Yayasan Tujuh Suku sempat dibangun untuk
mengelola ekonomi di masyarakat, tapi tidak berjalan dengan baik. Uang mengubah
segalanya. Dana tidak sampai pada
masyarakat melainkan hanya pada segelintir orang saja yang menerima uang
tersebut. Pengurus yayasan tersebut dibutakan oleh uang. Yayasan Tujuh Suku
dibubarkan dan diganti dengan LPM Irja. Namun tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya. Pengurus yang juga merupakan masyarakat suku tersebut, tergiur
dengan uang yang baru saja diterimanya. Akhirnya di bawah LPMAK manajemen
ditata kembali serta sederet masalah lainnya yang terjadi yaitu konflik antar
suku, konflik antara masyarakat adat dan Freeport.
Konflik
yang terjadi di Papua timbul bukan hanya dari datangnya perusahaan Freeport tetapi
juga konflik yang timbul dari otonomi khusus (otsus). Awalnya bertujuan baik,
otonomi khusus ini tercetus saat Papua bergejolak ingin memisahkan diri dari
Indonesia, otsus sebagai kerangka penentuan nasib sendiri secara internal.
Artinya status otonomi Papua bukan sekadar pendelegasian urusan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah seperti otonomi yang dimiliki daerah lain di Indonesia,
melainkan otonomi yang menjunjung tinggi bentuk self governing dalam kerangka Negara Republik Indonesia.[2]
Kegagalan
otsus ini antara lain disebabkan oleh pemahaman yang simpang siur antara sejumlah
kalangan. Otsus tidak optimal. Pembentukan 6 daerah otonom di Provinsi Papua
seharusnya benar-benar untuk kesejahteraan rakyat dan jangan hanya untuk
distribusi dan berbagi kekuasaan semata saja. Jika tujuan dari awal hanya untuk
berbagi kekuasaan saja sudah dipastikan kebijakan yang dibuat pasti tidak
berpihak pada rakyat. Pembuatan UU Otonomi Khusus ini tidak meminta persetujuan
rakyat Papua terlebih dahulu, hanya digodog di Jakarta, tanpa memperhatikan
masyarakat disana. Otsus yang direncanakan sebagai win-win solution bagi Papua dalam menemukan ‘jati diri’ sayangnya
belum bisa mengubah nasib rakyat asli Papua. Ketidakadilan, kemiskinan
kekerasan dan kelaparan terus menghantui rakyat Papua dikala dana otsus
dicairkan untuk Papua.
Untuk Freeport, bukan memakmurkan warga di
sekitar pertambangan, kehadiran mereka justru menghancurkan tatanan sosial dan
budaya rakyat dan merusak lingkungan hidup. Ironisnya, kehadiran Freeport telah menyebabkan timbulnya tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM yang mengakibatkan sebagian warga suku Amungme menjadi
pengungsi internal di tanah mereka sendiri. Mereka menjadi korban di tengah
kekayaan alam yang berkelimpahan.
Kita tidak pernah tahu dengan pasti berapa
sebenarnya keuntungan yang telah diraih Freeport selama ini karena mulai dari
operasi penambangan sampai dengan tahap distribusi dan pemasaran emas dan
tembaga produksinya dikuasai penuh oleh Freeport. Belum lagi soal dugaan KKN
yang turut mewarnai operasi Freeport yang sangat merugikan negara. Rakyat Papua
harus puas menjadi penonton atas kegiatan pengerukan kekayaan alam yang
dikandung tanah mereka itu.
[1]
Amiruddin al Rahab, Heboh Papua:Perang Rahasia, Trauma, dan Separatisme,
(Depok: Komunitas Bambu, 2010), hal 131
[2] Ibid,
hal 104
KEBIJAKAN
PENANGANAN KONFLIK DAN ANALISA
Aktor konflik di Papua terdiri dari
masyarakat dan Pemerintah karena jenis konfliknya terdiri dari konflik
horizontal dan konflik vertikal. Dalam laporan penelitian konflik yang diteliti
Ibu Eva dikatakan bahwa konflik horizontal
dan konflik vertikal, keduanya terjadi di Papua. Konflik horizontal adalah
konflik yang melibatkan atau yang terjadi antar masyarakat, sementara konflik
vertikal adalah konflik antara masyarakat dengan penguasa atau Pemerintah. Dalam
konflik horizontal, aktornya adalah
masyarakat Papua itu sendiri. Dalam konflik
vertikal, pelakunya adalah golongan masyarakat Papua Barat yang merasa tidak
puas dan merasa adanya ketidakadilan ekonomi dan kesejahteraan mereka; kontradiksi
sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua Barat dan Jakarta; serta
kegagalan implementasi UU Otsus.[1] Hal ini diperparah dengan
kegagalan otonomi khusus di Papua dan kerusakan alam yang terus menerus akibat
penambangan PT Freeport Indonesia. Sumber-sumber
konflik di Papua Barat ini dapat disebut yaitu marginalisasi dan diskriminatif
terhadap orang asli Papua secara ekonomi, sosial, budaya, seperti pemenuhan
kesejahteraan, pendidikan dan hal lain yang tidak diperhatikan. Setiap
orang berhak atas pendidikan, kesejahteraan dan hal-hal lain yang menunjang
kehidupan mereka. Hal ini sebagaimana amanah dari Pasal 36 UU nomor 39 tahun
1999 tentang HAM (hak atas kesejahteraan), Pasal 11 (pemenuhan kebutuhan dasar
untuk tumbuh dan berkembang secara layak), Pasal 12 (hak untuk memperoleh
pendidikan) dan hak-hak lain dalam UU ini yang harusnya dipenuhi dalam UU HAM.
Kebijakan
yang dicetuskan untuk menyelesaikan masalah konflik di Papua ini adalah
kebijakan peraturan dan non-peraturan. Kebijakan
peraturan yaitu peraturan baru yang lebih efektif dan sistem perencanaan
yang jelas, disebutkan dalam penelitian UU Otsus 2001 diubah menjadi UU nomor
35 tahun 2008, serta ada perencanaan yang diatur Permendagri nomor 54/2010 dan
sistem penganggaran yang diatur dalam UU nomor 33 tahun 2004. Kebijakan non peraturan seperti sikap
diskriminatif dan kebijakan yang memarginalisasi orang Papua harus dihapuskan. Proses pembangunan yang menjamin hak-hak
warga Papua seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya, harus ditingkatkan. Ada dialog yang setara antara Pemerintah dan
rakyat Papua. Pemerintah harus mengerti benar keadaan masyarakat, jangan
hanya mengambil kebijakan sepihak saja tanpa mengerti apa yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat. Pihak pemerintah sebagai pihak yang lebih ‘mendominasi’
juga tidak boleh melakukan pemaksaan-pemaksaan dalam mencari kesepakatan.
Apakah
kebijakan penanganan konflik ini sudah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat?
Pada dasarnya konflik yang ada di Papua terjadi karena kebijakan pembangunan yang tidak memihak orang Papua
sehingga menimbulkan berbagai masalah dimulai dari ketidakadilan ekonomi,
kesejahteraan sampai dengan pelanggaran HAM. Salah satu konflik besar yang
terjadi di Papua yaitu masalah dengan PT Freeport yang dianggap mengambil tanah
leluhur mereka dan membuat mereka semakin menderita, begitu juga masalah
otonomi khusus, yakni daerah Papua akan dikembangkan menjadi beberapa daerah
otonom. Secara normatif, UU Otsus dimaksudkan untuk meredam dan menangani
konflik yang ada di Papua saat gerakan memerdekakan diri dari Indonesia
bergejolak.
Pembangunan
khususnya bidang kesehatan dan pendidikan yang merupakan target utama Otsus impementasinya masih sangat kurang. Memang
dibangun sekolah-sekolah tapi sekolah tersebut di pedalaman masih kekurangan
guru. Begitu juga dalam bidang kesehatan, Angka kematian ibu hamil dan balita
tinggi. Sekalipun sudah dibentuk
kebijakan khusus untuk Papua, kehadiran pemerintah yang terwujud dalam
pelayanan publik belum optimal. Hak di bidang kesehatan dan pendidikan bagi
perempuan dan anak juga merupakan hak yang wajib dipenuhi (Pasal 48, 49, 59,
dan 62 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM)
PT Freeport Indonesia menjadi satu contoh bagaimana kehadiran
sebuah perusahaan pertambangan nyaris tidak memberikan kontribusi terhadap
masyarakat setempat. Setelah lebih dari 30 tahun hadir dan melakukan kegiatan di
atas tanah adat milik suku Amungme, kenyataannya, kondisi kehidupan sebagian besar warga suku Amungme dan suku lain di
sekitarnya sama sekali tidak berubah dari saat sebelum Freeport datang.
Bahkan, saat ini keberadaan suku Amungme terperosok ke dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan.[2] Masyarakat
Amungme dan Kamoro tetap miskin. Padahal, tanah mereka yang dirampas Freeport,
telah mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemilik pertambangan dan para
kroninya di Indonesia.[3] PT
Freeport yang mendapat tentangan keras dari masyarakat setempat ini, malah
menyiapkan para aparat dengan penjagaan yang cenderung ke arah kekerasan.
Prinsip
kesetaraan merupakan hal yang
fundamental dalam prinsip hak asasi manusia. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa
semua manusia terlahir bebas dengan hak asasi yang telah melekat pada dirinya
dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi manusia. Kebijakan
yang ada berupa dialog antara Pemerintah dan rakyat Papua harusnya dioptimalkan.
Agenda keadilan dan pembagian pendapatan daerah dari hasil tambang harus
dikelola Papua secara mandiri. Jangan ada marginalisasi terhadap rakyat Papua. Sebagai warga negara Indonesia, masyarakat
Papua berhak untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagaimana warga Indonesia
lainnya. Pemerintah pusat menerima pembagiannya berdasarkan
prosentasi yang ditetapkan dalam aturan, kendali anggaran dan pendapatan biar
diserahkan pada Papua, dan tidak lagi di Jakarta.
Riwayat bumi Papua mencatat: semakin banyak kekayaan alam tergali, semakin banyak darah tertumpah.
Hak ulayat atas tanah direbut; sistem sosial ekonomi digerus; lingkungan hidup
menjadi rusak; dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di sana sini.
Sedang pemerintah, atas nama’ pembangunan’ dan pertumbuhan ekonomi’ seperti
cocok hidung saja oleh Freeport, dan tutup mata atas apa yang dialami rakyat di
sana. [4]
Pihak-pihak yang berkuasa cenderung mengambil
keuntungan dari adanya penambangan Freeport ini tanpa menghiraukan masyarakat
disekitarnya menderita, tanah leluhur yang hilang, lingkungan hidup yang rusak,
fasilitas yang dibangun dirasa kurang memadai, dan dampak buruk lainnya bagi
penduduk setempat. Kebijakan baru yang dibuat harus mengarahkan bahwa kekayaan
alam harus dijaga, terutama dari tangan-tangan asing. Kebijakan yang dibuat ini
sudah digarap dengan konsep yang baik, pelaksanaannya
bisa berjalan atau tidak tergantung pada para pihak yang akan menjalankannya,
terutama di sisi Penguasa akankah tetap menutup mata pada ketidakadilan yang
terjadi ataukah benar-benar memenuhi keinginan rakyat.
Bentuk-bentuk
pelanggaran yang mendominasi seperti kekayaan alam yang tergerus dan masyarakat
yang semakin menderita. Jika hak
ulayat atas tanah direbut tentunya kehidupan normal dimana mereka menyembah
leluhur atau mengadakan ritual lainnya tidak bisa lagi dilakukan karena tempat
itu sudah lenyap oleh tambang. Perekonomian yang terus menerus digerus juga
menambah sederet penderitaan rakyat Papua. Tempat mereka mencari nafkah
sehari-hari dan hidup bersama keluarganya dirampas. Lingkungan hidup rusak
sehingga kehidupan sehari-hari mereka terganggu, tidak mendapat tempat tinggal
yang nyaman. Hasil dari eksploitasi harusnya menjadi hak yang didapat para
warga, tapi alih-alih mendapatkan semuanya hanya ditelan oleh pihak Penguasa. Hak-hak
ini harusnya dipenuhi negara sesuai amanah dalam UU HAM.
Keadilan ialah satu sisi yang dilupakan oleh para
pihak yang menguasai karena dibutakan oleh materi. Jika melihat artinya dalam
kamus, adil dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti (1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; (2)
berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; (3) sepatutnya; tidak
sewenang-wenang.
Dari
sisi keadilan, kebijakan yang diambil oleh Pemerintah belum memenuhi apa yang
diinginkan oleh masyarakat. Harusnya penanganan konflik sosial ini ditangani
dengan pendekatan yang komprehensif dengan masyarakat. Jangan hanya diambil
oleh satu pihak yang sebenarnya tidak begitu mengenal masyarakat, akhirnya
tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
Mekanisme
penanganan konflik harus mencari sampai ke akarnya. Latar belakang masyarakat
itu sendiri harus dipahami. Jika yang dikeluarkan adalah kebijakan non regulasi
yaitu dengan kesepakatan damai, maka yang dipertanyakan adalah apakah
kesepakatan damai itu efektif. Kebijakan ini seringkali sudah berulang tapi
tidak dapat menjamin dapat terlaksana di lapangan. Praktisi pembuat kebijakan harus
dipastikan apakah benar-benar menampung aspirasi masyarakat atau tidak.
[1]
dipaparkan dalam penelitian Konflik Sosial Ibu Eva A. Zulfa, hal 144 , sumber
menurut penelitian LIPI (Papua Barat Road Map, Muridan S. Widjojo, 2009)
[2] Dianto
Bachriadi, Merana Di Tengah Kelimpahan, (Jakarta: ELSAM, 1998).
[3] Merdeka,
9 September 1995.
PERLINDUNGAN KORBAN
Salah
satu sisi keadilan yaitu dengan memperhatikan perlindungan korban kasus Papua
Barat. Korban dalam suatu konflik sudah seharusnya dilindungi. Korban sebagai orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik
atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya
yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Hal
ini sesuai dengan amanah UU nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam
Pasal 5 UU tersebut dikatakan korban
berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penterjemah; bebas dari
pertanyaan yang menjerat, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; mendapat nasihat hukum, memperoleh bantuan
biaya hidup sementara sampai sampai
batas waktu perlindungan terakhir, dst yang disebut dalam Pasal 5. Maka,
korban dalam konflik Papua berhak mendapat keamanan pribadi, dan keluarganya.
Jangan sampai peristiwa bentrok dengan Freeport atau pelaksanaan Otsus yang
tidak optimal membuat rakyat merasa terancam dan tidak mendapat hidup yang aman
dan tenteram.
Dalam
pasal 7 dikatakan “korban melalui LPSK berhak mengajukan ke
Pengadilan berupa: a) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; b) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana. Suku Papua yang mendapat kekerasan
saat melawan Freeport membangun di daerah mereka atau bentuk-bentuk ketidak
adilan lain yang dialami oleh warga Papua, mereka bisa mengajukan kompensasi, restitusi
atau ganti kerugian. Kompensasi yaitu kewajiban yang harus dibayarkan dalam
bentuk tunai bisa dalam bentuk perawatan kesehatan, pendidikan dan pemberian
jaminan kehidupan. Restitusi yaitu keajiban pengembalian harta milik atau
pemyaran atas kerugian yang diderita. Tapi yang menjadi masalah ialah belum
tentu warga Papua yang masih tinggal di pedalaman rata-rata pendidikannya
rendah sehingga kurang mengerti akan
hak-hak yang dimiliki korban, yang telah diamanahkan oleh undang-undang.
Mereka cenderung diam dan kekecewaan itu menumpuk hingga meluasnya tuntutan
merdeka di Papua merupakan akibat daripada penyebab. Artinya tuntutan merdeka
itu ditujukan untuk mematahkan struktur kekerasan yang menciptakan
ketidakadilan Papua selama ini.
Terkait
dengan pelanggaran HAM, memang tidak
semua pelanggaran HAM merupakan pelanggaran hukum. Di satu sisi kebijakan
Otsus yang tidak terlaksana kurang baik, sekolah yang tidak memadai,
pembangunan fasilitas yang terhambat, atau kejadian Freeport yang merampas
tanah tempat mereka hidup sehari-hari, limbah lingkungan hidup di satu sisi ada
hak masyarakat yang terlanggar disana tapi belum tentu dikategorikan termasuk
pelanggaran hukum. Merusak lingkungan dari limbah Freeport seharusnya dapat
dikenakan tuntutan pidana dalam aturan pidana UU Lingkungan Hidup tetapi untuk
perbuatan lain yang tidak ada larangan pidananya sulit untuk mengatakan itu merupakan
pelanggaran hukum. Tapi tetap pelanggaran hak-hak rakyat Papua mencederai. Maka,
kebijakan untuk melakukan penegakan hak
asasi manusia selayaknya dituangkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan oleh para pembentuk hukum sebagai jaminan atas upaya
penegakan HAM.
Kalau
tidak diselesaikan, konflik itu akan terus menerus terjadi. Dampak yang timbul
tidak hanya sesaat tapi juga pada generasi-generasi berikutnya, dampaknya
sungguh tidak kecil. Maka, penanganan harus komprehensif tidak hanya saat
konflik tapi jauh sebelum konflik itu terjadi harus ada pencegahan. Indonesia
sendiri belum memiliki grand-design
penanganan konflik yang terjadi sekalipun sudah ada UU yang mengatur tentang
penangan konflik. Hal ini dikemukakan dalam seminar Ibu Eva “Penyusunan Peta Kebijakan Penanganan Konflik
Sosial di Indonesia”, 27 Maret 2013.
Konflik
sosial diatur dalam UU nomor 7 tahun
2012 tentang Konflik Sosial, namun jauh sebelum itu sudah banyak konflik
sosial terjadi. Hal yang
perlu diperhatikan pula yaitu menyangkut hubungan masyarakat, prinsip
negosiasi, kebutuhan manusia, identitas, kesalahpahaman budaya, dan
transformasi yang sering menjadi sumber konflik. Dalam kasus Papua sendiri,
kebijakan pusat justru meningkatkan eskalasi konflik itu menaik. Aktor bisa
pelaku langsung, bisa pejabat daerah setempat, bisa juga kepolisian.
Jika dengan dibandingkan dengan kasus Lapindo,
sama seperti Freeport dimana warga melawan korporasi, perusahaan ini sendiri
dia membenarkan karena benar sudah mendapat izin, maka setiap kali terjadi, ada
perbedaan persepsi. Dengan alasan izin tersebut itulah masyarakat Papua tidak
bisa berbuat apa-apa selain daripada menerima yang diperbuat perusahaan dan
pemerintah daerah tersebut.
Undang-undang
yang mengatur tentang konflik sosial diatur dalam UU nomor 7 tahun 2012.
Pengertian Konflik menurut UU nomor 7 tahun 2012 adalah perseteruan dan/atau benturan fisik
dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung
dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan
disintergrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional. Penyelesaian konflik lewat peraturan perundang-undangan
harus ketat kontrolnya agar tidak hanya menjadi sebuah peraturan normatif
belaka. Begitu juga dengan kebijakan non peraturan agar kepentingan semua pihak
dilindungi, tidak ada pemaksaan terhadap suatu kelompok tertentu, dilakukan
dengan upaya non kekerasan agar adil bagi semua pihak. Jika dilakukan
kesepakatan damai tentunya jangan sampai melakukan pemaksaan terhadap salah
satu pihak. Harus ada kesepakatan yang berimbang.
Kebijakan untuk masalah Papua ini harus
memfokuskan pada perlindungan korban dari ketidakadilan yang terjadi. Perhatian
pada korban harusnya dilakukan atas dasar hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).
Hal ini yang seringkali menjadi masalah yang kurang diperhatikan. Segala
instrumen HAM baik internasional maupun nasional, DUHAM, ICCPR (ratifikasi UU
no 12 tahun 2005), UU HAM dan peraturan lain terkait harus menjadi landasan
kepedulian kepada korban dalam suatu konflik mengingat “semua
orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.”(Pasal
1 DUHAM). Pemulihan terhadap hak-hak korban harus disikapi sebagai upaya untuk
memberikan perlindungan HAM.
Dokumentasi Tugas Hukum dan HAM Maria Anindita Nareswari, 2013
Komentar
Posting Komentar