Memperingati
hari HAM saya mengikuti diskusi Museum HAM Untuk Indonesia di Taman Ismail
Marzuki. Diskusi ini menyoroti bagaimana Museum HAM dibentuk untuk
memperingati terutama menjadi saksi bagi Pemerintah dan semua pihak terkait
untuk menyelesaikan kasus HAM yang belum tuntas, kasus 1965, dan kasus-kasus
lain. Museum HAM dibangun sebagai terobosan baru dan ide ini telah disampaikan
ke Pemerintah. Pertanyaannya kemudian apakah museum bisa menjadi permanen?
Bagaimana caranya? Kenapa museum dan bukan hanya monumen dan tugu?
Museum bisa
menciptakan ruang, dan ruang menjadi modal dasar terciptanya sebuah demokrasi. Ruang
dapat menjadi tempat berdialog berinteraksi, dan itu menimbulkan proses memorialisasi.
Arsitektur disini
kemudian berperan menciptakan suasana kontemplasi. Museum pada dasarnya juga harus
lepas dari kepentingan politik. Kasus-kasus bersejarah yang terjadi ditanggapi
berbeda-beda oleh pihak-pihak tertentu dan museum ini yang akan menyajikan
pandangan-pandangan tersebut.
Tujuan museum
diciptakan ini adalah menyatakan sebuah kebenaran: misalkan fakta ada
orang-orang yang dibunuh, pembunuhnya kemudian diungkap, hal ini yang kembali
di memorialisasi oleh museum. Museum ini juga mengakomodir selama ini
pihak-pihak yang berinteraksi, berdebat, ditambah lagi seringkali pendidikan
formal tidak mengakomodasi hal ini. Maka, para pembicara dari Komnas HAM,
Pendiri Majalah Historia, para Arsitektur yang hadir malam itu, terus mendorong
Pemerintah, agar museum ini menjadi permanen. Kembali ditegaskan oleh para
pembicara bahwa museum ini hanya instrumen dan bukan sebaagi tujuan, agar
anak-anak bangsa, generasi muda bisa melihat dan belajar, membuka cakrawala lebih
mengenai nilai-nilai kemanusiaan, HAM, dsb
Tantangan dengan
adanya museum yaitu ada pandangan baru bahwa ada sesuatu yang selama ini kita
lupakan, agar semuanya itu ter”narasi” kan, karena dalam perjalanan bangsa ini
ada korban pelanggaran HAM, penting untuk melihat dimensi lain bahwa dalam
setiap peradaban dimensi orang-orang yang menjadi korban.
Museum mengingatkan
kembali, bahwa ada bagian gelap dari bangsa ini yang perlu diketahui. Museum
yang akan menjadi alat atau instrumen, sebagai salah satu media yang membantu
pekerjaan Komnas HAM. Tentu banyak hal-hal lain selain museum yang dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan misalnya mendorong kepala
negara. Kepala negara merupakan representasi negara yang mempunyai tanggung
jawab moral, oleh karenanya wajib mendorong hal-hal yang belum diselesaikan
Jaksa Agung. Komunikasi harus terbangun antara Presiden, jajaran kabinet dan
masyarakat.
Museum Temporer
Rekoleksi Memori yang sementara ada di TIM, selama museum permanen
diperjuangkan. Museum penting agar disparitas pemahaman akan kasus-kasus HAM
dikurangi, tujuannya menatap visi bangsa yang lebih baik. Masalah HAM di Indonesia
masih panjang serius dan belum bisa diatasi. Para pihak, Pemerintah, penegak
hukum, media, dan semuanya harus bersinergi. Ini menjadi tugas agar kaum muda
di masa mendatang memahami keadaan bangsanya.
Pro kontra mungkin
saja terjadi dalam ide membangun museum HAM ini baik dari substansi, lokasi,
yang tentunya tak bisa lepas dari keadaan politik yang ada. Tetaplah berjuang.
"Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan"-Wiji Thukul
Komentar
Posting Komentar