Keterbukaan Informasi Publik dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan: Sebuah Utopia?
Maria
A. Nareswari
Saat
menuliskan esai ini, saya membayangkan dalam pikiran saya negara Indonesia yang
transparan, segala informasi publik dapat diakses semua pihak, apakah mungkin
hal tersebut terjadi? Payung hukum yang menaungi dalam hal keterbukaan
informasi ini sudah tersedia, yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Bagaimana dengan implementasi
keterbukaan informasi publik ini dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama
dalam hal tata kelola hutan dan lahan?
Informasi
publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau
diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik
lainnya sesuai UU KIP serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan
publik.[1] Informasi
ini merupakan data yang diolah agar dapat memberi manfaat bagi pengambilan
keputusan. Maka, informasi ini sangat berharga dan wajib dibuka untuk publik
menunjang terciptanya keputusan seturut dengan aspirasi masyarakat.
Hal
yang sama diterapkan pada keterbukaan informasi dalam hal perizinan dalam
mendukung tata kelola hutan dan lahan yang semakin baik. Masyarakat harus
mengetahui jenis-jenis izin apa saja yang dikeluarkan, bagaimana proses
keluarnya izin tersebut, berapa jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
mendapatkan izin, apakah masyarakat dilibatkan dalam keluarnya izin. Maka, pada
dasarnya kewajiban bagi mereka yang berwenang mengeluarkan perizinan untuk
mengumumkan informasi publik ini.
Kewajiban
untuk mengumumkan informasi publik diatur dalam UU KIP. UU KIP mengatur jenis
informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang
wajib diumumkan secara serta-merta, informasi yang wajib tersedia setiap saat,
dan ada jenis informasi yang dikecualikan. Informasi yang wajib tersedia setiap
saat meliputi[2]
a. Daftar
seluruh informasi publik yang berada di bawah penguasaan Badan Publik, tidak
termasuk informasi yang dikecualikan;
b. Hasil
keputusan badan publik dan pertimbangannya;
c. Seluruh
kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. Rencana
kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik;
e. Perjanjian
Badan Publik dengan pihak ketiga;
f. Informasi
dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka
untuk umum;
g. Prosedur
kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat;
h. Laporan
mengenai pelayanan akses Informasi Publik;
Mengapa
sebuah keterbukaan informasi publik ini menjadi penting? Seringkali perusahaan-perusahaan
baik perusahaan tambang atau perkebunan lalai dalam memenuhi kepatuhan. Ketidakpatuhan
membuktikan perusahaan tidak komitmen terhadap transparansi di sektor ini.[3] Transparansi
data dan informasi kehutanan di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai contoh
di Kabupaten Barito Selatan, yang merupakan daerah percontohan penataan
perizinan nasional dan berkomitmen dalam perbaikan tata kelola hutan, masih menunjukkan
tingkat transparansi yang rendah.[4]
Tidak
adanya transparansi menutup ruang bagi publik untuk berpartisipasi. Manfaat
dari sumber daya akan tergerus oleh korupsi jika tidak adanya keterbukaan.
Tidak ada ruang bagi publik untuk mengontrol. Hal ini akan berdampak buruk pada
masyarakat sekitar. Contohnya yang terjadi di pulau-pulau kecil di Kepulauan
Aru dan Mentawai, kegiatan eksploitasi di pulau kecil tersebut menyebabkan
hilangnya hutan alam, tidak ada informasi yang jelas disana mengenai proses
izin pembukaan lahan. Masyarakat dibuat bertanya-tanya sampai akhirnya daerah
mereka dieksploitasi. Proses tersebut tidak terbuka di tingkat masyarakat.[5]
Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis guna
perbaikan tata kelola hutan dengan cara menghentikan pemberian dan perpanjangan
izin penguasaan hutan dan lahan, semisal dalam kasus yang terjadi di Kepulauan
Aru dan Mentawai, pembabatan hutan alam untuk aktivitas pertambangan dan
perkebunan harus diperhatikan demi keselamatan pulau-pulau kecil tersebut.
Selain itu, proses-proses transparansi, partisipasi, koordinasi, dan
akuntabilitas juga harus dijalankan untuk mewujudkan tata kelola yang baik
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil tersebut. Keterbukaan informasi merupakan
prasyarat terjadinya prinsip partisipasi publik dalam proses tata kelola hutan
yang baik.[6]
Dalam
membangun tata pemerintahan yang baik, maka perlu ada data yang dapat diakses
oleh semua pihak. Hal ini tentu ada pengecualian semisal jenis informasi yang
dikategorikan sebagai informasi rahasia menurut yaitu informasi publik yang
apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat
proses penegakan hukum; informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan
kepada pemohon informasi publik dapat menganggu kepentingan perlindungan hak
atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
informasi yang apabila dibuka dapat membahayakan pertahanan dan keamanan
negara; serta informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia.[7] Sebagai
contoh, NPWP adalah nomor yang dimiliki wajib pajak secara personal. Sifatnya
rahasia, tidak dapat dibuka kepada publik. Namun, ada pengecualian yaitu bila
berkaitan dengan jabatan-jabatan publik yang mengharuskan untuk dibuka. Di luar
itu, semua informasi harus dapat diakses secara terbuka.
Amanat
akan keterbukaan informasi publik ini dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Salah
satunya dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dituliskan bahwa UU Minerba merupakan perubahan dari UU pertambangan dahulu
diharapkan dapat menjadi pedoman dalam mengusahakan pertambangan minerba yang
transparan, memperhatikan lingkungan dan menunjang pembangunan. Dalam
konsideran tertulis “...dapat mengelola
dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan,
berdaya saing, eifsien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan
nasional secara berkelanjutan.”[8] Dalam
asas dan tujuan UU Minerba juga dikemukakan bahwa pertambangan mineral dan/atau
batubara dikelola berdasarkan beberapa asas, salah satunya adalah transparansi.[9] Dalam
pasal-pasal lain juga diamanatkan adanya keterbukaan, baik dalam undang-undang
maupun dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pedoman
Usaha Pertambangan.
Undang-Undang
Perkebunan Nomor 39 tahun 2014 yang baru (menggantikan UU Nomor 18 tahun 2004) dalam
pasal menyebutkan perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas salah
satunya adalah keterbukaan. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah penyelenggaraan
perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung
dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh Pelaku Usaha Perkebunan dan
masyarakat.[10]
Perencanaan perkebunan dalam UU Perkebunan juga mengamanatkan bahwa perencanaan
perkebunan dilakukan berdasarkan aspirasi daerah dengan tetap menjunjung
keutuhan bangsa dan negara.[11] Dengan
adanya informasi yang terbuka mengenai perkebunan serta dapat diakses
masyarakat akan meningkatkan partisipasi masyarakat, melakukan kritik dan
masukan terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah, terutama yang berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Hal
yang sama diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, dalam pasal mengenai
keterbukaan informasi menuliskan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas
hidup yang dihasilkan hutan. Selain itu, masyarakat juga dapat mengetahui rencana
peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; dan memberi
informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan.[12] Menurut
catatan Forest Watch Indonesia, pada periode 2009-2013 Pulau Sulawesi telah
kehilangan hutan alam (deforestasi) mencapai 191 ribu hektare. Lebih dari
sepertiganya adalah dampak dari aktivitas pertambangan.
Ketika
informasi terbuka, maka akan lebih mudah bagi masyarakat untuk mengontrol
hal-hal tersebut. Jika ada keadaan yang tidak sesuai dengan aturan atau
terdapat pelanggaran, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan hal
yang penting. Keterbukaan informasi akan mengarahkan pada tata kelola hutan
yang lebih baik. Partisipasi masyarakat untuk
turut memantau pengelolaan sumberdaya hutan, sekaligus memberikan informasi
lebih lanjut mengenai kondisi lapangan, sangat dibutuhkan untuk menghasilkan
data kehutanan yang akurat dan terkini. Dengan proses seperti ini, perencanaan
kehutanan ke depan juga diyakini akan lebih baik karena menggunakan basis
informasi yang baik.[13]
Transparansi
dalam sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan erat kaitannya dengan
pemberantasan korupsi. Semakin transparan, akan semakin mudah publik untuk
melaporkan jika terjadi penyimpangan oleh penguasa atau ada indikasi korupsi. Praktik
korupsi terjadi saat hak akses para pihak yang seharusnya mengetahui
pemanfaatan hutan atau sumber daya lainnya tersebut dibatasi. Akibatnya, sektor
kehutanan, pertambangan, kehutanan sering menjadi “lahan basah”. Pelaku bisnis
bekerja sama dengan pemberi izin untuk mendapatkan izin, padahal tahap dan
prosedur belum dipenuhi kepatuhannya.
Bagaimana
dengan implementasinya? Apakah transparansi dalam tata kelola hutan dan lahan
hanya sekedar utopia? Utopia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
sistem sosial politik yang sempurna, hanya ada di dalam bayangan (khayalan) dan
sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.[14] Keterbukaan
dapat diwujudkan atau hanya dalam imajinasi dan sulit untuk diwujudkan semuanya
tergantung pada semua yang terlibat. Tugas semua para pihak untuk membantu
mewujudkan keterbukaan informasi dalam rangka perbaikan tata kelola hutan dan
lahan. Beban implementasi ini tentu tidak hanya di pundak pemerintah saja. Kerja sama yang baik antar pihak dapat mengatasi
masalah-masalah dalam perwujudan transparansi itu sendiri.
Beberapa kendala mungkin terjadi di daerah terpencil yaitu
fasilitas yang minim, pengetahuan masyarakat akan perkembangan teknologi,
alokasi dana untuk fasilitas dan beberapa kendala lain yang terjadi. Itulah
yang menjadi tugas para pemerintah daerah bekerja sama dengan pihak swasta dan
masyarakat.
Dalam
UU KIP sendiri terdapat kewajiban bagi badan publik di tingkat pusat maupun
daerah untuk dapat menyediakan informasi tersebut dengan membentuk Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).[15] Masyarakat
dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan publik terkait informasi yang
dibutuhkan lewat pelayanan dari PPID. Kerja PPID yang baik merupakan salah satu
cara perwujudan informasi perizinan yang terbuka dan dapat diakses semua pihak.
Sekilas
kita melihat perwujudan KIP adalah sebuah utopia dan sulit untuk mengatakan
semuanya ini dapat terwujud. Tapi hal itulah yang membuat kita tetap optimis,
bahwa masih ada harapan akan perbaikan dalam mewujudkan lingkungan hidup yang
lebih baik, dengan adanya informasi yang transparan dalam tata kelola hutan dan
lahan. Badan Publik menyediakan informasi publik dan ada hukuman bagi mereka
yang tidak menerbitkan informasi tersebut. Aparat hukum harus tegas
memberlakukan hukuman bagi yang lalai akan kewajibannya.
Amanat
Undang-Undang sudah menegaskan akan terciptanya keterbukaan informasi. Informasi
yang penting bagi masyarakat sekitar akan membuka kunci dalam meminimalisir kejahatan
luar biasa yaitu korupsi. Semakin transparan, akan semakin mudah masyarakat
melakukan pengawasan jika terjadi hal yang tidak sesuai. Masyarakat dan makhluk
hidup lain menggantungkan hidupnya pada lingkungan dan alam. Keterbukaan
informasi ini dapat diwujudkan agar mengarahkan pemanfaatan sumber daya digunakan
sesuai dengan peruntukkannya terutama bagi kesejahteraan masyarakat.
Daftar
Pustaka
Indonesia. Undang-Undang
Tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
LN
Tahun 1999 No 67. TLN No 3888.
Indonesia. Undang-Undang
Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008. LN Tahun
2008 No. 61, TLN No. 4846.
Indonesia. Undang-Undang
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009. LN
Tahun 2009 No 4, TLN No 4959.
Indonesia. Undang-Undang
Tentang Perkebunan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014.
LN Tahun 2014 No 308,
TLN No 5613.
FWI. Lembar
Informasi: Hutan Terakhir di Pulau-Pulau Kecil Indonesia.
FWI.
Lembar Informasi: Tata Kelola Hutan yang Baik Membutuhkan Informasi
Kehutanan yang Baik.
http://kebebasaninformasi.org/2015/02/23/transparansi-di-sektor-tambang-lemah/. Diakses 23
Maret 2015.
http://fwi.or.id/publikasi/pemerintah-harus-membuka-ruang-transparansi-dan-partisipasi-publik-terkait-pengelolaan-sumberdaya-hutan/.
Diakses 29 Maret 2015.
[1]
Indonesia,
Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU
Nomor 14 tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor
61, TLN Nomor 4846 Pasal 1 angka 2.
[2] Ibid, Pasal 11.
[3] http://kebebasaninformasi.org/2015/02/23/transparansi-di-sektor-tambang-lemah/, diakses 23 Maret 2015, pk 19.00
WIB.
[4] FWI, Lembar
Informasi: Tata Kelola Hutan yang Baik Membutuhkan Informasi Kehutanan yang
Baik.
[5] FWI, Lembar Informasi: Hutan Terakhir di
Pulau-Pulau Kecil Indonesia.
[6] http://fwi.or.id/publikasi/kementerian-kehutanan-menjadi-penyebab-hancurnya-pulau-pulau-kecil-indonesia/, diakses 23 Maret 2015, pk 19.00.
[7] Indonesia, op.cit., Pasal 17.
[8] Indonesia, Undang-Undang Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No 4, TLN No 4959, konsideran butir c.
[10] Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkebunan,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, LN
Tahun 2014 No 308, TLN No 5613, Pasal 2.
[11] Ibid., Pasal 5.
[12] Indonesia, Undang-Undang Tentang Kehutanan,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No 67, TLN No 3888, Pasal 68.
[13]
http://fwi.or.id/publikasi/pemerintah-harus-membuka-ruang-transparansi-dan-partisipasi-publik-terkait-pengelolaan-sumberdaya-hutan/, diakses 29 Maret 2015, pk 19.30 WIB
[15] Dalam Pasal 1 angka 9 UU KIP PPID adalah pejabat
yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan,
dan/atau pelayanan informasi di Badan Publik.
Komentar
Posting Komentar