Dialog Awal Tahun REDD+: Capaian 2014 dan
Rencana Kerja 2015 diadakan bertempat di kantor BP REDD+ RI, Gd Mayapada Tower
II, Jl Jend Sudirman, Jakarta.
sumber: reddplus.go.id
Pak Heru Prasetyo, Kepala BP
REDD+ membuka dengan flashback apa yang sudah dikerjakan Badan REDD dari awal
berdirinya sampai tahun 2014, capaian kerja apa yang telah dilakukan dan
bagaimana rencana kerja ke depannya. Pemerintah, lembaga, LSM, akademisi, media
hadir disana. Pak Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
dan Bustar dari Greenpeace menjadi penanggap dalam paparan ini.
REDD bukanlah suatu project
melainkan sebuah movement. Jelas dalam
Perpres pendirian Badan REDD+ yaitu Perpres Nomor 62 tahun 2013 bertugas
koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan implementasi dari program-program REDD,
mengembangkan sayap dalam FREDDI dan MRV. Dipimpin oleh Kepala Badan dan melaporkan kepada presiden. Lintas sektor dan
lintas disiplin ilmu.
Hari itu tepat 86 hari sejak
Presiden baru dilantik. Ingat kembali 9 Nawa Cita yang dibuat sebagai arahan
Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan tugasnya terutama yang terkait
dengan sumber daya alam, lingkungan dan persoalan terkait lainnya. Mengingat
kembali juga tujuan REDD sesuai Perpres yaitu menurunkan emisi dari deforestasi
dan menurunkan emisi dari degradasi
hutan dan atau lahan gambut.
Tantangan upaya penurunan emisi
sektor hutan dan lahan yaitu menyeimbangkan antara penurunan emisi, ekologi dan
ekonomi (indikator RAPI). Emisi bagus bisa saja berdampak ekonomi yang buruk.
Atau ekonomi bagus, misalnya tanaman sawit yang memberi dampak perekonomian
yang bagus, tapi ekologi tidak terkendali.
BP REDD dengan beberapa tenaga
profesionalnya tanggung jawab ke Presiden, lanjut Pak Heru dalam dialog itu. Operasionalisasi
REDD+dari Aceh sampai Papua (11 Provinsi, 76 Kabupaten). Daerah tersebut sudah “touch”
dengan BPREDD melalui MOU.
2014, 2016, 2020? Tahun ini yang
menjadi tahun-tahun penting dalam rangka BP REDD mencapai tujuannya. Kenapa
dipetakan demikian? 2002: janji untuk mencapai reduksi emisi, supaya mencapai yang
dijanjikan baik lebih ataupun kurang , sasaran antara akhir tahun 2016, Indonesia
operationally and institutionally ready untuk bisa kurangi reduksi emisinya. Ukuran
RAPI tidak mengurbankan ekonomi yang berkeadillan dan sustainability. Sasaran antara 2014-2020. Jalur ada di atas sana, 10
jalur, 10 program imperatif yang disusun BP REDD tahun 2014.
Kalau selesai 2016, 2017 sudah
ukur emisi, 2018 juga sudah mengukur, 2020 bisa declare, kita mencapai/tidak mencapai sesuai yang direncakan.
4 gerakan utama dari BP REDD
yaitu kurangi pengrusakan, lindungi yang masih utuh, manage yang masih diusahakan, restore
yang sudah rusak. Moratorium hutan dan lahan yang diadakan 2 tahun, lahan
primer dan lahan gambut. 2 tahun penundaan ini bertujuan menjaga supaya
moratorium ini ditaati. 2013 ini diperpanjang mantan presiden Yudhoyono sampai
2015.
Melalui situation room REDD di berbagai
provinsi Riau, Jambi, dan Kalteng, mereka monitor di lapangan dan laporan
capaian-capaian dalam moratorium tsb.
BIG bekerjasama dengan BP REDD dalam
melengkapi one map policy. Peta rupa
bumi tidak cukup, tapi juga peta-peta tematis. Peta-peta tersebut “disambung”,
ada wali data yang menyambung peta-peta rupa bumi. Provinsi demi provinsi.
Menjadi penting bahwa peta masyarakat hukum adat harus ada dlm peta nasional supaya
dapat kelola hutan dan lahan dengan cara yang lebih benar. Hal ini menjadi
penting misalnya dalam penggunaan baseline dan peta kadastral untuk monitoring
karhutla. Dasarnya peta kadastral yang benar.
Tanggapan dari Pak Abdon Nababan, dari AMAN.
Bagaimana negara hadir di tengah
masyarakat adat? Mengingat komitmen 6 point dahulu zaman pencalonan presiden.
Negara hadir kalau masyarakatnya
ada di dalam negara, masyarakat adat di pasal 18 UUD sampe sekarang tidak tercatat
dalam negara. Terasa tidak pas negara hadir di masyarakat adat, tp masyarakat
adatnya tidak ada dii negara. Disinilah REDD hadir.
Perbincangan pemerintah Norway
dan Indo, bagaimana dalam LOI sudah terlanjur masuk izin-izin di masyarakat
adat.
Komitmen menurunkan emisi
serahkan aja ke masyarakat adat. Hutan-hutan terbaik di masyarakat adat bisa
dijaga. Masyarakat adat bagian dari bangsa dan negara, hadirkan masyarakat adat
di negara.
Dalam UUPA sempat ada hak ulayat,
namun tidak dijelaskan sistem administrasi hak ulayat, hak atas wilayah adatnya
dan sebagainya. Disebutkan tapi tidak dilaksanakan. Tidak pernah ada masyarakat
adat hadir dalam negara ini.
Catatan 2014 REDD mencatat
kemajuan untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, kontribusi UKP4 dan BP
REDD bukan hadirkan negara dahulu tapi masyarakat adat dahulu baru negara
hadir. Apa yang dikerjakan dari UKP4 dan BP REDD jadi kemajuan.
Administrasi wilayah di Kementerian
Agraria dan Tata Ruang, harusnya belajar dari BP REDD bagaimana mengelola wilayah
adat yang kami serahkan. BPREDD menerima 4,8 juta Ha [di cek], kalau ini
diteruskan masyarakat adat akan hadir di negara, nanti negara mudah hadir di masyarakat
adat.
Masalah masyarakat adat tidak
tahu siapa yang mengurus, datanya juga tidak ada yang mengurus, BP REDD sebagai
walidata, sangat sayang kalau badan ini dibubarkan. Tunggu sampai KemenLHK sudah
benar paradigmanya ttg masyarakat adat. BP REDD jangan dilebur dahulu, at least 2 tahun. Ini salah satu ulasan
mengenai alasan mengapa BP REDD perlu dilanjutkan http://www.reddplus.go.id/berita/berita-redd/2486.
TANGGAPAN GREENPEACE
Dahulu orang berpikir REDD: bagaimana jual carbon, seolah pikirannya hanya
uang.
Komitmen SBY bagus sekali, menurukan emisi, negara berkembang pertama.
Perubahan iklim lagi menjadi fokus saat itu. Begitu juga dengan komitmen
moratorium, dari industri mengatakan kedengarannya mustahil. Seusai menurunkan
emisi, sesudah itu moratorium. Itu langkah politik yang sangat baik, perlu ada
perbaikan di sektor kehutanan. Faktanya di daerah rumah gubernur/bupati, rumah
masyarakat adat, berada di kawasan hutan.
Misalnya di Kalimantan Tengah. Di tengah hutan ada sawit, ada tambang,
misal pertambangan rakyat, kebun milik ex Bupati, ada tumpang tindih. Masalahnya
tidak hanya perubahan iklim tp tata kelola hutan kita di indonesia. Presiden Jokowi
sudah mengunjungi Riau. Melihat keadaan gambut [yang dikeringkan dan dibuka],
itu sumber hidup masyarakat tapi dirampas, konflik masih terus berjalan.
Hutan. Banyak kepentingan disana, dari Pemda, Kemenhut, Kemendagri, banyak
pihak yang terlibat. BP REDD bertugas menyatukan kepentingan-kepentingan itu untuk
perbaikan tata kelola hutan.
Greenpeace mengatakan jangan dilebur dulu, kita [masyarakat] belum percaya
sepenuhnya, seringkali menteri dr parpol, atau parpol fokusnya cm eksploitasi
SDA, dsb.
Kemudian muncul isu apakah Indonesia tunduk pada agenda asing? Indonesia
dibayar utk setujui moratorium? Tanpa uang dari Norway dalam artian tanpa uang
dan ada uang, moratorium tetap jalan. Itu agenda kita, untuk perbaikan tata
kelola hutan dan lahan sebagai bagian dr agenda reformasi.
Moratorium
baru cover hutan alam, primary forest
dan belum mencakup semua hutan. NGO belum puas. Izin-izin dicek apakah memnuhi
aspek legal dari pemerintah? Nyatanya banyak yang ditabrak.
Dukungan dari industri, BP REDD
untuk teruskan program. Tegur perusahaan yang tidak taat. BP REDD
diharapkan tidak hanya gerakan tapi juga inisiatif yang dijalankan masyarakat.
Itu hal yang perlu didorong, harus berdampak pada perlindungan lingkungan,
tetapi juga merasakan manfaat ekonomi di daerah-daerah.
“It is about movement by Indonesia. It's even supported by Indonesian
companies, so strongly it scares the world” #WHYBPREDD
Semoga
selalu ada harapan untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan di negara kita.
Semoga
Komentar
Posting Komentar