Pak Jatna Supriatna, Chairman
Research Center for Climate Change, UI, hari ini datang ke BP REDD dan
memberikan penjelasan mengenai
“Biodiversity” atau “Keanekaragaman Hayati.” Kita tentu sering melihat tulisan
beliau di surat kabar yang membahas tentang biodiversity.
Profil lengkap Pak Jatna bisa dilihat disini:
“After having finished his Master of Science (1986) and
Doctorate degree (1991) from the University of New Mexico, USA, including pre-
and post-doctoral at Columbia University in New York, Dr. Jatna Supriatna
served as Senior lecturer at the Biology Dept., Director of Biodiversity and
Conservation Studies, Coordinator of Graduate Program on Conservation Biology
of the University of Indonesia. He also became the Chief Editor of Tropical
Biodiversity since 1992, Board of Editors of the International Journal of
Wildlife Policy and Law, Board of Editors of Tropical Conservation Science,
Asia Biodiversity Journal and IUCN Park Journal. He taught many courses
including Conservation Biology, Biogeography, Tropical Ecology, Restoration
Ecology and others at the University of Indonesia.”
Sumber: http://www.icsd.asia/speaker/dr-jatna-supriantna
Mungkin belum terlalu banyak tahu
tentang topik ini. Namun, saya akan berusaha menjelaskan sedikit tentang yang
dijelaskan Pak Jatna hari itu.
Research Center for Climate
Change, UI lebih banyak melakukan riset terkait biodiversity, dimana BP REDD
melakukan implementasi. Tentu perlu ada kerjasama antara keduanya.
Climate change sangat berhubungan
besar dengan biodiversity. “Climate is
changing and species are responding.” Dari biologi, kimia, semua masuk dalam
permasalahan ini. Lintas sektor. Bagaimana koneksi biodiversity dan juga mitigation serta adaptation. Beliau menjelaskan bagaimana bisa kita kaya akan
keanekaragaman hayati, mengingat posisi kita di antara 2 lempeng tektonik,
Indonesia bagian barat berbatasan dengan Asia, dan bagian timur dengan
Australia.
Lain lagi dengan negara Brazil
yang kaya keanekaragaman hayatinya karena sungai, atau Afrika karena cuaca
gurun dan non gurun. Biota endemik yang khas ada di Brazil dan Indonesia.
Mamalia kita memiliki 512 [berdasarkan keterangan Pak Jatna] namun sekarang
kita tidak tahu spesies kita dimana. Selama bertahun-tahun tidak bertambah,
kalau mencari salah siapa, sering lempar tanggung jawab. LIPI? Kehutanan?
Perikanan?
Distribusi keanekaragaman spesies
dari Indonesia masih sangat sedikit. Misal dari Papua baru 2% yang diberikan. Bandingkan dengan negara lain misal Australia.
Australia bisa mendapatkan ratusan dollar dari biodiversitynya. Indonesia
kurang memanfaatkan. Pembuatan Biodiversity Action Plan seharusnya sedari awal
dipikirkan. Indonesia sendiri baru membuat tahun 2000-an.
Protokol Nagoya juga dibahas
sedikit hari itu. Mengingat 12 Oktober 2014 lalu, protokol ini mulai berlaku,
diratifikasi sejak 2013. Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya
genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman
Hayati. Pak Jatna pernah menuliskan dalam harian Kompas sumber daya genetika
Indonesia sangat tinggi karena kita mempunyai 10 persen tumbuhan berbunga di
dunia selain mempunyai 15 persen serangga, 25 persen spesies ikan, 16 persen
jumlah amfibi dan reptil, 17 persen burung, dan sekitar 12 persen mamalia di
dunia. Belum lagi, Indonesia is the
center of bananas diversity (Nasution, 1991). Keragaman hayati dalam
tanaman pisang adalah salah satu aset bangsa ini. Apakah semua ‘kekayaan’ ini
bisa terpelihara? Dalam pemeliharaan seringkali Indonesia lebih sering
menurunkan secara lisan, akhirnya tidak semua ter’dokumentasi’ dengan baik dan
kalah dengan negara lain .Tanaman padi Indonesia merupakan genetic resources for agriculture. Banyak lumpung padi disini.
Penemuan akan keragaman hayati masih sangat minim. Jamu misalnya. Sudah lama
sekali tidak ada penemuan akan jenis baru. Padahal fungsi yang dihasikan sangat
bermanfaat.
Dengan diberlakukannya protokol
Nagoya diharapkan semakin menguatkan Indonesia dalam Pak Jatna menyebutnya
kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan tradisional dari
masyarakat hukum adat.
Pembahasan juga mencakup bahan Indonesia yang seringkali
dibawa negara lain, diolah disana, kemudian Indonesia yang membeli jadi.
Semuanya karena kita tidak bisa mengolahnya. Miris bukan? Negara lain
seringkali riset tentang hal ini langsung ke daerah, tidak melalui pemerintah
pusat, misal obat anti malaria, obat anti cancer. Penyebab biodiviersity crisis
yang terbesar antara lain
-habitat destruction
-over exploitation
-invasive exchanges
Impacts of climate changes on biodiversity and ecotourism? Kupu-kupu misalnya. Mereka bisa bertahan
dalam temperatur -100F. Dalam suhu yang buruk, menyebabkan mereka berpindah ke
tampat lain yang lebih dingin, padahal bisa saja di tempat baru mereka
kekurangan makanan. Banyak contoh lain dimana fauna harus bermigrasi agar
bertahan hidup. Semuanya karena climate change. Jadi jelas dampak climate
change pada hewan dan tumbuhan sangat besar. Contohnya lagi, penguin di Artic sudah
berkurang populasinya.
Cara merawat keragaman ini
penting. Mungkin itu salah satu kekurangan kita. Mari lebih peka lagi akan
kekayaan alam demi mendukung keragaman hayati kita. Demi Indonesia, demi masa
depan bumi kita.
Komentar
Posting Komentar