Kami Indonesia, kami Pancasila. Semoga pemikiran singkat ini mengingatkan kembali pada landasan idiil negara kita, terutama dalam menghadapi persoalan bangsa kita.
Konflik lahan di daerah Telukjambe, Kabupaten Karawang, tidak kunjung selesai. Ratusan petani korban konflik lahan asal wilayah Telukjambe ini masih bertahan di Jakarta. Petani di daerah tersebut akan melaksanakan aksi kubur diri. Hampir satu tahun berlalu, lahan petani Karawang yang dirampas PT Pertiwi Lestari tak kunjung dikembalikan oleh Pemerintah. Agenda perjuangan mereka adalah meminta kepada Pemerintah agar mencabut seluruh izin HGB PT Pertiwi Lestari, termasuk IMB-nya.[1]
Konflik lahan di daerah Telukjambe, Kabupaten Karawang, tidak kunjung selesai. Ratusan petani korban konflik lahan asal wilayah Telukjambe ini masih bertahan di Jakarta. Petani di daerah tersebut akan melaksanakan aksi kubur diri. Hampir satu tahun berlalu, lahan petani Karawang yang dirampas PT Pertiwi Lestari tak kunjung dikembalikan oleh Pemerintah. Agenda perjuangan mereka adalah meminta kepada Pemerintah agar mencabut seluruh izin HGB PT Pertiwi Lestari, termasuk IMB-nya.[1]
Perwakilan 500 keluarga petani yang tergabung
dalam Serikat Tani Telukjambe (STTB) di Karawang akan melaksanakan aksi kubur
diri di depan Istana Negara RI untuk meminta kepada Presiden Joko Widodo
mengembalikan mereka ke lahan pertaniannya dan mencabut sertifikat atas nama PT
Pertiwi Lestari yang telah dinyatakan illegal oleh Kementerian Lingkungan Hidup
RI.
Kronologis permasalahan yang terjadi pada
sengketa lahan Telukjambe, Karawang, adalah sebagai berikut:
1. Izin yang
dimiliki PT Pertiwi Lestari yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1998, sah
dengan bukti sertifikat HGB.
2. Sebelumnya,
Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta PT Pertiwi
Lestari mengembalikan sekitar 400 hektar lahan yang selama ini dikuasainya
kepada negara karena melakukan pelanggaran perambahan di kawasan hutan negara.
3. Pemerintah
Kabupaten Karawang pernah digugat atas izin yang dikeluarkan di lahan sengketa
(tidak ada keterangan tahun berapa) tetapi tidak terbukti, dasar
maladministrasi penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), putusan Ombudsman RI
menyatakan tidak terbukti maladministrasi.
4. Klaim
pemkab tidak ada yang salah dalam penerbitan IMB PT Pertiwi Lestari, sesuai
dengan prosedur.
5. Pada
bulan April 2016, Pemerintah Kabupaten Karawang telah menerima surat permohonan
IMB dari PT Pertiwi Lestari untuk mendirikan pagar beton di atas lahan mereka.
6. Sebagai
pemegang HGB yang sah berdasarkan sertifikat HGB tahun 1998, maka PT Pertiwi Lestari
berhak namun di atas lahan yang masih sengketa, ditangguhkan.
7. Menteri
KLHK mengirimkan surat kepada Menteri Pertanahan Kepala BPN yang meminta
pencabutan sertifikat di kawasan sengketa Telukjambe. Menteri beralasan lahan
tersebut adalah hutan. Dalam surat bertanggal 7 November 2016 itu, Menteri KLHK
Siti Nurbaya menembuskan kepada Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung.
8. Masih
terdapat perbedaan persepsi soal lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan.
Kawasan yang dimaksud adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki
HGU. Tanah berkas hak erpah yakni bekas Belanda/partikelir, yang dikonversikan
menjadi HGU, dari HGU kemudian diubah menjadi HGB.
Jumlah
warga petani Telukjambe yang berada di penampungan mencapai 217 jiwa, dimana
sekitar 63 diantaranya anak-anak. Masalah perbedaan persepsi mengenai lahan
yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh KLHK dan sertifikat HGB yang
diterbitkan Kantor Pertanahan Karawang tahun 1998 membuat ratusan petani
mengungsi. Mereka berjalan kaki menuju Jakarta yang berjarak sekitar 66 km
untuk meminta penyelesaian konflik.[2]
Analisis
Permasalahan perolehan tanah untuk pembangunan
infrastruktur dari masa ke masa memiliki kesamaan ceritanya. Tentu saja hal itu
dapat dilihat dari dua sisi pandang yang berbeda. Dari pihak yang akan
melakukan perolehan tanah merasakan adanya hambatan yang muncul dari pemilik
tanah. Sementara dari pemilik tanah pun demikian halnya merasa dirugikan bahkan
seringkali pula diintimidasi. Namun banyak juga kedua pihak dapat menerima dengan
senang hati dalam artian perolehan tanah untuk pembangunan infrastruktur dari
hasil proses musyawarah mufakat.[1]
Pengaturan pertanahan di Indonesia tidak lepas
sepenuhnya dari realita sejarah hingga lahirnya Republik ini. Hukum-hukum
kolonial masih saja diberlakukan hingga saat ini Hukum Dasar (konstitusi) yang
dibangun dari semburat nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum.[2]
Seperti dalam kasus sengketa lahan Telukjambe di
atas, PT Pertiwi Lestari menganggap pihak perusahaan melakukan perolehan tanah
secara sah karena sejak tahun 1998, telah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan
(HGB) dari BPN. KLHK berpendapat bahwa kawasan perusahaan tersebut merupakan
kawasan hutan, maka harus dibatalkan. Tetapi, klaim perusahaan bahwa tanah
tersebut adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki HGU, kemudian
diubah menjadi HGB. Klaim perusahaan tidak lepas dari peninggalan hukum
kolonial yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan peninggalan Belanda.
Dari sifat kegiatan perolehan tanah terdiri dari
faktor-faktor: 1) manusia (pemilik proyek dan pemilik tanah), 2) aturan hukum
(peraturan perundang-undangan) sebagai sarananya.[3]
Pemilik proyek dalam hal ini PT Pertiwi Lestari berlaku tidak adil terhadap
ratusan pengungsi yang tinggal di Rusunawa Adiarsa, Kecamatan Karawang Barat. Para
pengungsi mayoritas berprofesi sebagai petani di Blok Kutatandingan, Kampung
Kiara Hayam, Desa Wanajaya, Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Saat ini,
juga masih belum ada kejelasan antara perbedaan status lahan antara BPN dan
KLHK. Akibatnya, para pengungsi terbengkalai.
Bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah
dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) jo. Pasal 1 angka 20 PP No 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”)[4].
PT Pertiwi Lestari dapat membuktikan
kepemilikan tanahnya dengan sertifikat HGB tahun 1998. Karena sertifikat tanah
merupakan bukti kepemilikan yang sah. Secara legal formal, kepemilikan tanah PT
Pertiwi Lestari tidak ada yang menjadi persoalan. Tetapi, KLHK memiliki pedoman
lain sehingga beranggapan wilayah milik PT Pertiwi Lestari adalah area hutan
sehingga seharusnya tidak ada hak milik di atasnya. Aturan tumpang tindih
lintas instansi ini juga merupakan salah satu faktor terabaikannya keadilan
bagi masyarakat kecil.
Dari pemilahan secara substansial dari
permasalahan itu pada akhirnya bertumpu pada faktor manusia sebagai pusatnya,
inti persoalannya. Hal itu dapat dijelaskan dari tiga aspek: 1) subyeknya
manusia dan/atau kumpulan manusia (badan hukum publik), 2) alat/sarana berupa
peraturan buatan manusia, dan 3) target/tujuannya: tersedianya infrastruktur
publik buatan manusia.[5]
Manusia sebagai faktor utama, manusia yang
membuat kebijakan agar mampu mengayomi seluruh kebutuhan masyarakat. Peraturan yang
dibentuk manusia haruslah mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan. Penyelesaian sengketa pertanahan ini tidak lepas dari sistem
administrasi pertanahan yang disharmonis, serta belum adanya mekanisme
penanganan yang belum sempurna.
Pancasila dan Hukum Pancasila
Seperti yang telah dikemukakan di atas, apabila
pendirian itu diterima bahwa manusia sebagai pusatnya persoalan dalam
pembicaraan ini maka pembahasannya kemudian dapat dilanjutkan secara logis.
Logis dalam tataran dan tatanan hukum di Indonesia yang bersumber pada
nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai yang menjadi sumber pembentukkan
peraturan perundang-undangan (bahkan sumber segala sumber hukum) di republik
ini. Pun sekaligus sebagai nilai-nilai kepribadian yang menjadi acuan hidup,
pandangan hidup (way of life) Bangsa
Indonesia.[6]
Maka, sebuah kebijakan juga harus bersumber pada
nilai-nilai luhur Pancasila. Kalau terdapat disharmonisasi aturan, kembali
mengacu pada nilai-nilai fundamental Pancasila. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat sedemikian rupa harus mampu memberi perlindungan bagi warga Negara.
DPR yang memegang kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang harus
mampu menyuarakan aspirasi masyarakat sehingga dapat dirasakan keadilan dan
kemanfaatannya oleh masyarakat. Begitu pula para pejabat pemerintahan di bidang
eksekutif dan yudikatif. Dalam mengemban tugasnya, harus mencerminkan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila. Sistem
administrasi yang buruk, perbedaan peta pertanahan, tidak boleh mengakibatkan
masyarakat yang menjadi korban. Hal itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur
Pancasila.
Manifestasi nilai-nilai Pancasila itu menjadi
dasar solusi logis dengan mengingat kembali bagian penjelasan UUD RI 1945
(sayangnya sudah dihapuskan, dianggap bukan bagian dari UUD). Redaksi dari
bagian penjelasan itu berkenaan dengan pokok pikiran pembukaan bahwa Negara
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Implikasinya kemudian mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.[7]
Penyelenggara Negara lewat Kementerian/Lembaga
harus mampu memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur. Kemanusiaan diutamakan kepada mereka yang
menjadi korban dari disharmonisasi penetapan lahan yang tumpang tindih.
Perbedaan pendapat antara BPN dan KLHK membuat ratusan petani terkatung-katung dan
kehilangan pekerjaannya. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur
penyelenggaraan Negara. reformasi di segala bidang termasuk pertanahan harus
menjabarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada perspektif Pancasila selaras dengan dogma
hukum yang menempatkan manusia sebagai pusat dari berbagai modus pengaturan dan
tujuan pengaturan itu sendiri. Namun kiranya yang harus dipahami adalah bahwa
dalam perspektif hukum Pancasila memiliki perbedaan perspektif menjelaskan
manusia sebagaimana dogma-dogma hukum barat yang hingga kini sayangnya masih
menjadi anutan dalam hukum Indonesia.[8]
Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan pengaturan
harus selaras dengan perspektif hukum Pancasila, harus selaras dengan dogma
hukum. Hukum dibentuk untuk manusia atau manusia untuk hukum. Hukum yang
selaras dengan perspektif hukum Pancasila bertujuan untuk menolong manusia
dalam kehidupan bernegara. Hukum dari semula dibentuk harus semata-mata demi
mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Jika ada korban karena
hukum itu, hal ini tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu penyimpangan. Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial terabaikna. Apabila
aturan hukum selalu mengorbankan manusia, maka ada yang salah dengan aturan
hukum tersebut. Aturan hukum harus difungsikan sesuai tujuan dibentuknya hukum
itu sendiri.
Amanah dari sila ke-5 Pancasila yaitu “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan disini dapat diartikan sebagai
hak untuk mendapatkan tanah dan kepemilikan tanah. Kalau kebijakan pertanahan bertentangan
dengan amanat sila ini, hal ini berdampak pada tidak terakomodasinya nilai-nilai
Pancasila pada kebijakan yang memiliki dampak langsung pada rakyat. Nilai
keadilan sosial tidak dirasakan oleh petani di Kabupaten Karawang. Hal yang
perlu menjadi perhatian yaitu apakah perusahaan dalam mendapatkan tanah melakukan
cara-cara yang intimidatif terhadap warga yang tinggal di daerah tersebut. Perusahaan
swasta dan masyarakat merupakan aktor yang paling banyak berkonflik. Terdapat
indikasi bahwa monopoli dan perampasan tanah masyarakat berjalan secara massif
dan minim regulasi untuk menghambat atau menghentikan praktik tersebut. Maka,
terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang luput dari hal ini.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum (idiil)
dan tatanan hukum Negara sebagai manifestasi nilai-nilai Pancasila. Pihak aparat
penegak hukum (apgakum) sendiri (KLHK, KPK) sudah turun ke area konflik lahan
di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Pihak perusahaan resisten karena pihak-pihak
secara paksa tanpa ada putusan pengadilan sudah melakukan seperti
penggeledahan. KLHK yang menanggap area perusahaan tidak seharusnya ditempati
karena merupakan wilayah hutan, dapat menggugat BPN yang telah mengeluarkan
sertifikat tersebut. Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu sebagai
manifestasi nilai-nilai keadilan dari Pancasila.
Terkait dugaan korupsi, PT Pertiwi Lestari
resisten karena ini seolah-olah kasus korupsi, untuk penyidikan yang notabene
bagi mereka murni sengketa keperdataan yaitu kepemilikan. Kajian KPK menemukan
ada tumpang tindih lahan kehutanan yang sudah ada Hak Guna Usahanya (HGU) tapi
digunakan oleh swasta. Hal ini masih dalam penyelidikan KPK. Dampaknya yaitu
warga 200 keluarga yang menjadi korban penggusuran PT Pertiwi Lestari atas
klaim hak atas tanah sah yang mereka miliki. Pelanggaran HAM, penindasan
ancaman menjadi hal yang harus ditanggung oleh para warga. Apabila pelanggaran
pidana korupsi dapat dibuktikan, hal itu sangat bertentangan dengan amanah dari
Pancasila, dimana rakyat Indonesia seluruhnya harus mendapatkan keadilan
sosial. Kenyataannya, tindak pidana korupsi mencederai nilai-nilai tersebut.
Aturan penyelesaian dalam sengketa pertanahan
harus mengacu pada nilai-nilai pada Pancasila. Pancasila menjadi sumber dari aturan-aturan
hukum. Pancasila menjadi acuan nilai-nilai penyelenggara Negara. Selain itu,
konsepsi dasar penyelesaian sengketa berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Musyawarah-Demokratis,
untuk keadilan sosial (bukan keadilan yustisial belaka)[9]
Maka, penyelesaian sengketa dalam kasus Telukjambe harus segera diatasi. Pemerintah
tidak boleh membiarkan kasus ini agar mereka yang terlantar semakin terabaikan.
Penyelesaian sengketa dengan berdasarkan nilai-nilai yang termaktub dalam
Pancasila.
Dari kasus di atas, konflik agraria antara
petani dan perusahaan di Karawang yang menyeruak pada 11 Oktober 2016
menyebabkan Ratusan warga, aparat, dan sejumlah petugas keamanan perusahaan
sampai terlibat perkelahian. Petani serta warga naik pitam setelah buldoser
perusahaan meratakan kebun dan tanaman. Seusai eksekusi lahan, sebelas petani
menjadi tersangka. Para petani kecewa berduyun-duyun meninggalkan tanahnya yang
digusur. Hal ini menunjukkan nilai Kemanusiaan yang Adil dan beradab
bertentangan dengan penegakkan hukum yang dilakukan aparat di tanah perusahaan
tersebut.
Konflik agraria ada yang bersifat struktural,
yaitu konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan atau putusan pejabat
publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban dan menimbulkan dampak yang
meluas, mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik.[10]
Konflik Telukjambe tersebut merupakan salah satu konflik agrarian yang bersifat
struktural. Konflik agraria yang terjadi pada tahun 2016 banyak terjadi karena,
1) pada arah regulasi tidak terjadi perubahan paradigma dalam memandang tanah
dan sumber daya alam. Tanah dan SDA masih dipandang sebagai kekayaan alam yang
harus dikelola oleh investor skala besar baik nasional maupun asing, 2) korupsi
dan kolusi dalam pemberian konsesi tanah dan sumber daya alam, 3) belum
berubahnya aparat pemerintah khususnya kepolisian, pemda dalam menghadapi
konflik agraria di lapangan. Pendekatan kekerasan dan prosedur yang melampaui
batas masih sering dilakukan. Dalam kasus di atas, terjadi konflik struktural,
yaitu akibat dikeluarganya sertifikat hak guna bangunan untuk perusahaan, warga
petani di sekitar area tersebut diusir dari lahan pertaniannya, 63 anak petani
Karawang kini hidup terlantar di penampungan. Akibat tidak dapat bekerja, para
petani hanya menggantungkan hidupnya dari bantuan sosial. Tanah di daerah
tersebut yang dikuasai oleh PT Pertiwi Lestari sebagai pemegang HGB memandang
tanah tersebut hanya empunya perusahaan.
Sektor properti merupakan salah satu sektor yang
rawan dari konflik agraria menyusul pengarusutamaan infrastruktur oleh
Pemerintah, yang mana semakin mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan daya beli. Tapi sayangnya, pertumbuhan di sektor properti juga
linear dengan tingginya angka konflik, karena praktiknya pembangunan properti
merampas tanah dan ruang hidup masyarakat. Contohnya, dalam kasus di atas yaitu
PT Pertiwi Lestari (Salim Group) di
Teluk Jambe, Karawang telah merampas tanah seluas 791 hektar termasuk di
dalamnya tanah-tanah produktif penghasil pangan.
Pemerintahan Jokowi-JK belum secara maksimal
mendorong implementasi reforma agraria. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2016,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma
Agraria Dibelokkan”, meski menjadi salah satu janji politik dalam Nawa Cita dan
telah diterjemahkan ke dalam RPJMN, tapi selama dua tahun kepemimpinan,
Jokowi-JK minim memberi perhatian pada pelaksanaan reforma agraria.
Hukum agraria (UUPA) tidak lain adalah sebagai
manifestasi Pancasila dan implementasi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (3) UUD RI
1945. Manifestasi bagi dasar-dasar pengaturan manusia dengan tanah di bumi ini.[11]
Asas-asas hukum tanah nasional yang melindungi
kepemilikan tanah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961:
1. penguasaan
dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi
hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional kita;
2. penguasaan
dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya, tidak dibenarkan bahkan diancam
dengan sanksi pidana;
3. penguasaan
dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan Hukum Tanah Nasional
dilindungi oleh hukum terhadap gangguan oleh siapapun; baik oleh sesama anggota
masyarakat maupun oleh pihak penguasa/pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut
tidak ada landasan hukumnya.[12]
Penguasaan dan penggunaan tanah PT Pertiwi
Lestari yang bagi KLHK merupakan tanah di kawasan hutan, di sisi lain BPN telah
memberikan sertifikat HGB di atasnya, membuat landasan hak bagi perusahaan tetapi bagi warga klaim itu tidak
berdasar. Jika dibuktikan bahwa ada penyalahgunaan hak yang dilakukan
perusahaan, aparat tidak oleh tinggal diam. Distribusi lahan yang adil
merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai Pancasila yang merupakan way of life dari bangsa Indonesia itu
sendiri.
Baik musyawarah mufakat, prosedur litigasi, non-litigasi,
keseluruhan proses penyelesaian sengketa harus mencerminkan keadilan itu
sendiri. Musyawarah merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang berdasarkan
Pancasila. Maka, apabila secara musyawarah dapat diselesaikan, tentu tidak
harus ada korban terlunta-lunta dalam sengketa tanah Telukjambe ini. Tumpang
tindih pendapat antara KLHK dan ATR harus diselesaikan, dimana klaim KLHK
adalah hutan lindung, namun ATR mengatakan itu sudah HGU.
Apabila memang dapat dibuktikan terkait dugaan
korupsi, penegakan hukum tidak boleh diskriminatif. Oknum yang terlibat harus
dihukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Konflik lahan seluas 791
hektare itu melibatkan banyak pihak yang saling mengklaim kebenaran status
kepemilikan lahan.
Akhir Kata
Hukum tidak boleh statis dan haruslah dinamis.
Sejalan dengan dinamika kehidupan manusia, hukum pun selalu mengikutinya. Hukum
yang dinamis itu dapat pula berjalan dengan bersandar pada nilai-nilai
Pancasila yang menjadi pandangan hidup manusia (ways of life).[1]
Tantangan dari penyelesaian sengketa pertanahan
adalah dipenuhinya nilai-nilai yang berdasarkan Pancasila yaitu nilai-nilai
Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Musyawarah-Demokratis, untuk keadilan sosial (bukan keadilan
yustisial belaka). Jika nilai-nilai tersebut dipenuhi, posisi rakyat yang lemah
tidak membuat mereka semakin lemah melainkan lebih kuat. Rakyat dalam kasus
Telukjambe dipaksa menerima segala hal yang dilakukan oleh Negara, baik dalam
bentuk kepentingannya secara langsung maupun kepada pemodal.
Upaya rakyat mencari keadilan dianggap aparat
sebagai salah satu upaya yang menghambat proses pembangunan dan dijadikan
pembenaran oleh Negara untuk melakukan tindakan kekerasan dan penindasan
terhadap rakyat.
Kepastian hukum atas sertifikat tanah milik
perusahaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menyebabkan para
petani tersingkir dari lahannya. Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Tidak
boleh ada upaya diskriminatif bagi rakyat agar tersingkir dari pembangunan
tersebut. Kelangsungan hidup para petani di Telukjambe harus segera mendapat
kejelasan.
[1]
Suparjo Sujadi, Penguasaan Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Desa
(Sebuah Perspektif Hukum Pancasila), hal 8
[1]
Suparjo Sujadi, Permasalahan dan Hambatan dalam Perolehan Tanah Untuk
Pembangunan Infrastruktur (Sebuah
Perspektif Hukum Pancasila), hal 1
[2] Ibid., hal 2
[3]
Ibid., hal 6
[4]
Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
[6]
Ibid., hal 7
[8]
Ibid., hal 7
[9] Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum
Pertanahan, 12 Mei 2017
[10] Catatan Akhir Tahun 2016, Konsorsium
Pembaruan Agraria, “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria
Dibelokkan”
[11]
Suparjo, Permasalahan dan Hambatan dalam Perolehan Tanah Untuk
Pembangunan Infrastruktur (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila), hal 3
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI JUGA.
BalasHapusAssalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....