Langsung ke konten utama

Pancasila sebagai Acuan Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Telukjambe, Karawang

Kami Indonesia, kami Pancasila. Semoga pemikiran singkat ini mengingatkan kembali pada landasan idiil negara kita, terutama dalam menghadapi persoalan bangsa kita.  


Konflik lahan di daerah Telukjambe, Kabupaten Karawang, tidak kunjung selesai. Ratusan petani korban konflik lahan asal wilayah Telukjambe ini masih bertahan di Jakarta. Petani di daerah tersebut akan melaksanakan aksi kubur diri. Hampir satu tahun berlalu, lahan petani Karawang yang dirampas PT Pertiwi Lestari tak kunjung dikembalikan oleh Pemerintah. Agenda perjuangan mereka adalah meminta kepada Pemerintah agar mencabut seluruh izin HGB PT Pertiwi Lestari, termasuk IMB-nya.[1]
Perwakilan 500 keluarga petani yang tergabung dalam Serikat Tani Telukjambe (STTB) di Karawang akan melaksanakan aksi kubur diri di depan Istana Negara RI untuk meminta kepada Presiden Joko Widodo mengembalikan mereka ke lahan pertaniannya dan mencabut sertifikat atas nama PT Pertiwi Lestari yang telah dinyatakan illegal oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Kronologis permasalahan yang terjadi pada sengketa lahan Telukjambe, Karawang, adalah sebagai berikut:
1.     Izin yang dimiliki PT Pertiwi Lestari yaitu Hak Guna Bangunan (HGB) sejak 1998, sah dengan bukti sertifikat HGB.
2.     Sebelumnya, Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meminta PT Pertiwi Lestari mengembalikan sekitar 400 hektar lahan yang selama ini dikuasainya kepada negara karena melakukan pelanggaran perambahan di kawasan hutan negara.
3.     Pemerintah Kabupaten Karawang pernah digugat atas izin yang dikeluarkan di lahan sengketa (tidak ada keterangan tahun berapa) tetapi tidak terbukti, dasar maladministrasi penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), putusan Ombudsman RI menyatakan tidak terbukti maladministrasi.
4.     Klaim pemkab tidak ada yang salah dalam penerbitan IMB PT Pertiwi Lestari, sesuai dengan prosedur.
5.     Pada bulan April 2016, Pemerintah Kabupaten Karawang telah menerima surat permohonan IMB dari PT Pertiwi Lestari untuk mendirikan pagar beton di atas lahan mereka.
6.     Sebagai pemegang HGB yang sah berdasarkan sertifikat HGB tahun 1998, maka PT Pertiwi Lestari berhak namun di atas lahan yang masih sengketa, ditangguhkan.
7.     Menteri KLHK mengirimkan surat kepada Menteri Pertanahan Kepala BPN yang meminta pencabutan sertifikat di kawasan sengketa Telukjambe. Menteri beralasan lahan tersebut adalah hutan. Dalam surat bertanggal 7 November 2016 itu, Menteri KLHK Siti Nurbaya menembuskan kepada Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung.
8.     Masih terdapat perbedaan persepsi soal lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan. Kawasan yang dimaksud adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki HGU. Tanah berkas hak erpah yakni bekas Belanda/partikelir, yang dikonversikan menjadi HGU, dari HGU kemudian diubah menjadi HGB.
Jumlah warga petani Telukjambe yang berada di penampungan mencapai 217 jiwa, dimana sekitar 63 diantaranya anak-anak. Masalah perbedaan persepsi mengenai lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh KLHK dan sertifikat HGB yang diterbitkan Kantor Pertanahan Karawang tahun 1998 membuat ratusan petani mengungsi. Mereka berjalan kaki menuju Jakarta yang berjarak sekitar 66 km untuk meminta penyelesaian konflik.[2]  

Analisis


Permasalahan perolehan tanah untuk pembangunan infrastruktur dari masa ke masa memiliki kesamaan ceritanya. Tentu saja hal itu dapat dilihat dari dua sisi pandang yang berbeda. Dari pihak yang akan melakukan perolehan tanah merasakan adanya hambatan yang muncul dari pemilik tanah. Sementara dari pemilik tanah pun demikian halnya merasa dirugikan bahkan seringkali pula diintimidasi. Namun banyak juga kedua pihak dapat menerima dengan senang hati dalam artian perolehan tanah untuk pembangunan infrastruktur dari hasil proses musyawarah mufakat.[1]
Pengaturan pertanahan di Indonesia tidak lepas sepenuhnya dari realita sejarah hingga lahirnya Republik ini. Hukum-hukum kolonial masih saja diberlakukan hingga saat ini Hukum Dasar (konstitusi) yang dibangun dari semburat nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum.[2]
Seperti dalam kasus sengketa lahan Telukjambe di atas, PT Pertiwi Lestari menganggap pihak perusahaan melakukan perolehan tanah secara sah karena sejak tahun 1998, telah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dari BPN. KLHK berpendapat bahwa kawasan perusahaan tersebut merupakan kawasan hutan, maka harus dibatalkan. Tetapi, klaim perusahaan bahwa tanah tersebut adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki HGU, kemudian diubah menjadi HGB. Klaim perusahaan tidak lepas dari peninggalan hukum kolonial yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan peninggalan Belanda.
Dari sifat kegiatan perolehan tanah terdiri dari faktor-faktor: 1) manusia (pemilik proyek dan pemilik tanah), 2) aturan hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai sarananya.[3] Pemilik proyek dalam hal ini PT Pertiwi Lestari berlaku tidak adil terhadap ratusan pengungsi yang tinggal di Rusunawa Adiarsa, Kecamatan Karawang Barat. Para pengungsi mayoritas berprofesi sebagai petani di Blok Kutatandingan, Kampung Kiara Hayam, Desa Wanajaya, Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Saat ini, juga masih belum ada kejelasan antara perbedaan status lahan antara BPN dan KLHK. Akibatnya, para pengungsi terbengkalai.
Bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) jo. Pasal 1 angka 20 PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”)[4].  PT Pertiwi Lestari dapat membuktikan kepemilikan tanahnya dengan sertifikat HGB tahun 1998. Karena sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan yang sah. Secara legal formal, kepemilikan tanah PT Pertiwi Lestari tidak ada yang menjadi persoalan. Tetapi, KLHK memiliki pedoman lain sehingga beranggapan wilayah milik PT Pertiwi Lestari adalah area hutan sehingga seharusnya tidak ada hak milik di atasnya. Aturan tumpang tindih lintas instansi ini juga merupakan salah satu faktor terabaikannya keadilan bagi masyarakat kecil.
Dari pemilahan secara substansial dari permasalahan itu pada akhirnya bertumpu pada faktor manusia sebagai pusatnya, inti persoalannya. Hal itu dapat dijelaskan dari tiga aspek: 1) subyeknya manusia dan/atau kumpulan manusia (badan hukum publik), 2) alat/sarana berupa peraturan buatan manusia, dan 3) target/tujuannya: tersedianya infrastruktur publik buatan manusia.[5]
Manusia sebagai faktor utama, manusia yang membuat kebijakan agar mampu mengayomi seluruh kebutuhan masyarakat. Peraturan yang dibentuk manusia haruslah mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Penyelesaian sengketa pertanahan ini tidak lepas dari sistem administrasi pertanahan yang disharmonis, serta belum adanya mekanisme penanganan yang belum sempurna.
Pancasila dan Hukum Pancasila
Seperti yang telah dikemukakan di atas, apabila pendirian itu diterima bahwa manusia sebagai pusatnya persoalan dalam pembicaraan ini maka pembahasannya kemudian dapat dilanjutkan secara logis. Logis dalam tataran dan tatanan hukum di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai yang menjadi sumber pembentukkan peraturan perundang-undangan (bahkan sumber segala sumber hukum) di republik ini. Pun sekaligus sebagai nilai-nilai kepribadian yang menjadi acuan hidup, pandangan hidup (way of life) Bangsa Indonesia.[6]
Maka, sebuah kebijakan juga harus bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila. Kalau terdapat disharmonisasi aturan, kembali mengacu pada nilai-nilai fundamental Pancasila. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sedemikian rupa harus mampu memberi perlindungan bagi warga Negara. DPR yang memegang kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang harus mampu menyuarakan aspirasi masyarakat sehingga dapat dirasakan keadilan dan kemanfaatannya oleh masyarakat. Begitu pula para pejabat pemerintahan di bidang eksekutif dan yudikatif. Dalam mengemban tugasnya, harus mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila. Sistem administrasi yang buruk, perbedaan peta pertanahan, tidak boleh mengakibatkan masyarakat yang menjadi korban. Hal itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Manifestasi nilai-nilai Pancasila itu menjadi dasar solusi logis dengan mengingat kembali bagian penjelasan UUD RI 1945 (sayangnya sudah dihapuskan, dianggap bukan bagian dari UUD). Redaksi dari bagian penjelasan itu berkenaan dengan pokok pikiran pembukaan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Implikasinya kemudian mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.[7]
Penyelenggara Negara lewat Kementerian/Lembaga harus mampu memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Kemanusiaan diutamakan kepada mereka yang menjadi korban dari disharmonisasi penetapan lahan yang tumpang tindih. Perbedaan pendapat antara BPN dan KLHK membuat ratusan petani terkatung-katung dan kehilangan pekerjaannya. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara. reformasi di segala bidang termasuk pertanahan harus menjabarkan nilai-nilai Pancasila.
Pada perspektif Pancasila selaras dengan dogma hukum yang menempatkan manusia sebagai pusat dari berbagai modus pengaturan dan tujuan pengaturan itu sendiri. Namun kiranya yang harus dipahami adalah bahwa dalam perspektif hukum Pancasila memiliki perbedaan perspektif menjelaskan manusia sebagaimana dogma-dogma hukum barat yang hingga kini sayangnya masih menjadi anutan dalam hukum Indonesia.[8]
Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan pengaturan harus selaras dengan perspektif hukum Pancasila, harus selaras dengan dogma hukum. Hukum dibentuk untuk manusia atau manusia untuk hukum. Hukum yang selaras dengan perspektif hukum Pancasila bertujuan untuk menolong manusia dalam kehidupan bernegara. Hukum dari semula dibentuk harus semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Jika ada korban karena hukum itu, hal ini tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu penyimpangan. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial terabaikna. Apabila aturan hukum selalu mengorbankan manusia, maka ada yang salah dengan aturan hukum tersebut. Aturan hukum harus difungsikan sesuai tujuan dibentuknya hukum itu sendiri.
Amanah dari sila ke-5 Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan disini dapat diartikan sebagai hak untuk mendapatkan tanah dan kepemilikan tanah. Kalau kebijakan pertanahan bertentangan dengan amanat sila ini, hal ini berdampak pada tidak terakomodasinya nilai-nilai Pancasila pada kebijakan yang memiliki dampak langsung pada rakyat. Nilai keadilan sosial tidak dirasakan oleh petani di Kabupaten Karawang. Hal yang perlu menjadi perhatian yaitu apakah perusahaan dalam mendapatkan tanah melakukan cara-cara yang intimidatif terhadap warga yang tinggal di daerah tersebut. Perusahaan swasta dan masyarakat merupakan aktor yang paling banyak berkonflik. Terdapat indikasi bahwa monopoli dan perampasan tanah masyarakat berjalan secara massif dan minim regulasi untuk menghambat atau menghentikan praktik tersebut. Maka, terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang luput dari hal ini.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum (idiil) dan tatanan hukum Negara sebagai manifestasi nilai-nilai Pancasila. Pihak aparat penegak hukum (apgakum) sendiri (KLHK, KPK) sudah turun ke area konflik lahan di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Pihak perusahaan resisten karena pihak-pihak secara paksa tanpa ada putusan pengadilan sudah melakukan seperti penggeledahan. KLHK yang menanggap area perusahaan tidak seharusnya ditempati karena merupakan wilayah hutan, dapat menggugat BPN yang telah mengeluarkan sertifikat tersebut. Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu sebagai manifestasi nilai-nilai keadilan dari Pancasila.
Terkait dugaan korupsi, PT Pertiwi Lestari resisten karena ini seolah-olah kasus korupsi, untuk penyidikan yang notabene bagi mereka murni sengketa keperdataan yaitu kepemilikan. Kajian KPK menemukan ada tumpang tindih lahan kehutanan yang sudah ada Hak Guna Usahanya (HGU) tapi digunakan oleh swasta. Hal ini masih dalam penyelidikan KPK. Dampaknya yaitu warga 200 keluarga yang menjadi korban penggusuran PT Pertiwi Lestari atas klaim hak atas tanah sah yang mereka miliki. Pelanggaran HAM, penindasan ancaman menjadi hal yang harus ditanggung oleh para warga. Apabila pelanggaran pidana korupsi dapat dibuktikan, hal itu sangat bertentangan dengan amanah dari Pancasila, dimana rakyat Indonesia seluruhnya harus mendapatkan keadilan sosial. Kenyataannya, tindak pidana korupsi mencederai nilai-nilai tersebut.
Aturan penyelesaian dalam sengketa pertanahan harus mengacu pada nilai-nilai pada Pancasila. Pancasila menjadi sumber dari aturan-aturan hukum. Pancasila menjadi acuan nilai-nilai penyelenggara Negara. Selain itu, konsepsi dasar penyelesaian sengketa berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Musyawarah-Demokratis, untuk keadilan sosial (bukan keadilan yustisial belaka)[9] Maka, penyelesaian sengketa dalam kasus Telukjambe harus segera diatasi. Pemerintah tidak boleh membiarkan kasus ini agar mereka yang terlantar semakin terabaikan. Penyelesaian sengketa dengan berdasarkan nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila.  
Dari kasus di atas, konflik agraria antara petani dan perusahaan di Karawang yang menyeruak pada 11 Oktober 2016 menyebabkan Ratusan warga, aparat, dan sejumlah petugas keamanan perusahaan sampai terlibat perkelahian. Petani serta warga naik pitam setelah buldoser perusahaan meratakan kebun dan tanaman. Seusai eksekusi lahan, sebelas petani menjadi tersangka. Para petani kecewa berduyun-duyun meninggalkan tanahnya yang digusur. Hal ini menunjukkan nilai Kemanusiaan yang Adil dan beradab bertentangan dengan penegakkan hukum yang dilakukan aparat di tanah perusahaan tersebut.
Konflik agraria ada yang bersifat struktural, yaitu konflik agraria yang diakibatkan oleh kebijakan atau putusan pejabat publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban dan menimbulkan dampak yang meluas, mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik.[10] Konflik Telukjambe tersebut merupakan salah satu konflik agrarian yang bersifat struktural. Konflik agraria yang terjadi pada tahun 2016 banyak terjadi karena, 1) pada arah regulasi tidak terjadi perubahan paradigma dalam memandang tanah dan sumber daya alam. Tanah dan SDA masih dipandang sebagai kekayaan alam yang harus dikelola oleh investor skala besar baik nasional maupun asing, 2) korupsi dan kolusi dalam pemberian konsesi tanah dan sumber daya alam, 3) belum berubahnya aparat pemerintah khususnya kepolisian, pemda dalam menghadapi konflik agraria di lapangan. Pendekatan kekerasan dan prosedur yang melampaui batas masih sering dilakukan. Dalam kasus di atas, terjadi konflik struktural, yaitu akibat dikeluarganya sertifikat hak guna bangunan untuk perusahaan, warga petani di sekitar area tersebut diusir dari lahan pertaniannya, 63 anak petani Karawang kini hidup terlantar di penampungan. Akibat tidak dapat bekerja, para petani hanya menggantungkan hidupnya dari bantuan sosial. Tanah di daerah tersebut yang dikuasai oleh PT Pertiwi Lestari sebagai pemegang HGB memandang tanah tersebut hanya empunya perusahaan.
Sektor properti merupakan salah satu sektor yang rawan dari konflik agraria menyusul pengarusutamaan infrastruktur oleh Pemerintah, yang mana semakin mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli. Tapi sayangnya, pertumbuhan di sektor properti juga linear dengan tingginya angka konflik, karena praktiknya pembangunan properti merampas tanah dan ruang hidup masyarakat. Contohnya, dalam kasus di atas yaitu PT Pertiwi Lestari (Salim Group) di Teluk Jambe, Karawang telah merampas tanah seluas 791 hektar termasuk di dalamnya tanah-tanah produktif penghasil pangan.
Pemerintahan Jokowi-JK belum secara maksimal mendorong implementasi reforma agraria. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2016, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan”, meski menjadi salah satu janji politik dalam Nawa Cita dan telah diterjemahkan ke dalam RPJMN, tapi selama dua tahun kepemimpinan, Jokowi-JK minim memberi perhatian pada pelaksanaan reforma agraria.
Hukum agraria (UUPA) tidak lain adalah sebagai manifestasi Pancasila dan implementasi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (3) UUD RI 1945. Manifestasi bagi dasar-dasar pengaturan manusia dengan tanah di bumi ini.[11]
Asas-asas hukum tanah nasional yang melindungi kepemilikan tanah menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961:
1.     penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah nasional kita;
2.     penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya, tidak dibenarkan bahkan diancam dengan sanksi pidana;
3.     penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan Hukum Tanah Nasional dilindungi oleh hukum terhadap gangguan oleh siapapun; baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa/pemerintah sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.[12]
Penguasaan dan penggunaan tanah PT Pertiwi Lestari yang bagi KLHK merupakan tanah di kawasan hutan, di sisi lain BPN telah memberikan sertifikat HGB di atasnya, membuat landasan hak bagi  perusahaan tetapi bagi warga klaim itu tidak berdasar. Jika dibuktikan bahwa ada penyalahgunaan hak yang dilakukan perusahaan, aparat tidak oleh tinggal diam. Distribusi lahan yang adil merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai Pancasila yang merupakan way of life dari bangsa Indonesia itu sendiri.
Baik musyawarah mufakat, prosedur litigasi, non-litigasi, keseluruhan proses penyelesaian sengketa harus mencerminkan keadilan itu sendiri. Musyawarah merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang berdasarkan Pancasila. Maka, apabila secara musyawarah dapat diselesaikan, tentu tidak harus ada korban terlunta-lunta dalam sengketa tanah Telukjambe ini. Tumpang tindih pendapat antara KLHK dan ATR harus diselesaikan, dimana klaim KLHK adalah hutan lindung, namun ATR mengatakan itu sudah HGU.
Apabila memang dapat dibuktikan terkait dugaan korupsi, penegakan hukum tidak boleh diskriminatif. Oknum yang terlibat harus dihukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Konflik lahan seluas 791 hektare itu melibatkan banyak pihak yang saling mengklaim kebenaran status kepemilikan lahan.
Akhir Kata
Hukum tidak boleh statis dan haruslah dinamis. Sejalan dengan dinamika kehidupan manusia, hukum pun selalu mengikutinya. Hukum yang dinamis itu dapat pula berjalan dengan bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi pandangan hidup manusia (ways of life).[1]
Tantangan dari penyelesaian sengketa pertanahan adalah dipenuhinya nilai-nilai yang berdasarkan Pancasila yaitu nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Musyawarah-Demokratis, untuk keadilan sosial (bukan keadilan yustisial belaka). Jika nilai-nilai tersebut dipenuhi, posisi rakyat yang lemah tidak membuat mereka semakin lemah melainkan lebih kuat. Rakyat dalam kasus Telukjambe dipaksa menerima segala hal yang dilakukan oleh Negara, baik dalam bentuk kepentingannya secara langsung maupun kepada pemodal.
Upaya rakyat mencari keadilan dianggap aparat sebagai salah satu upaya yang menghambat proses pembangunan dan dijadikan pembenaran oleh Negara untuk melakukan tindakan kekerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Kepastian hukum atas sertifikat tanah milik perusahaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menyebabkan para petani tersingkir dari lahannya. Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Tidak boleh ada upaya diskriminatif bagi rakyat agar tersingkir dari pembangunan tersebut. Kelangsungan hidup para petani di Telukjambe harus segera mendapat kejelasan.




[1]  Suparjo Sujadi, Penguasaan Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Desa (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila), hal 8



[1]  Suparjo Sujadi, Permasalahan dan Hambatan dalam Perolehan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila), hal 1
[2] Ibid., hal 2
[3]  Ibid., hal 6
[4]  Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) dan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
[5] Ibid., hal 6
[6]  Ibid., hal 7
[7]  Ibid., hal 7
[8]  Ibid., hal 7
[9] Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pertanahan, 12 Mei 2017
[10] Catatan Akhir Tahun 2016, Konsorsium Pembaruan Agraria, “Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan”
[11]  Suparjo, Permasalahan dan Hambatan dalam Perolehan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila), hal 3
[12] Bahan Kuliah Kapita Selekta Hukum Pertanahan 12 Mei 2017



Komentar

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI JUGA.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISFIT Preparation

Semenjak pengumuman dr ISFIT Norway awal November lalu (saya ingat sekali tepatnya tanggal 4 November, saya sungguh hampir lupa saya pernah apply, saat itu saya sedang menginap di rumah teman saya Audrey sehabis bekerja hingga larut malam, saya sungguh tidak membayangkan ini terjadi tapi Tuhan membukakan jalan, semoga bisa mengerjakan dengan baik:D). Sebelumnya flashback sedikit tentang proses saya mendaftar. Saya mengetahui ISFIT dari beberapa teman di UI dan sahabat saya Septian yang menjadi delegasi ISFIT tahun 2013. Saat itu, saya melihat topik-topiknya, membaca websitenya di isfit.org. Sangat menarik. Topiknya berada di antara isu-isu sosial, politik, hukum, dan topik global lainnya. Cara seleksi untuk mengikuti ISFIT ini adalah dengan mengirim 2 esai (sebetulnya 3, tapi esai ketiga ini tidak wajib, dan itu jika ingin mendapat travel support, karena ISFIT hanya menanggung akomodasi dan transportasi selama disana, tiket pulang pergi dari negara tidak ditanggung). Karena samb

West-Central Java 2017

Cibinong-Raiser 2017 Tahun ini berkesempatan mengunjungi tempat ikan hias di Raiser (Pusat Pengembangan dan Pemasaran), Cibinong, sembari menyusun beberapa petunjuk teknis terkait kebijakan perlindungan HAM bersama rekan-rekan KKP. Tempat ini didirikan KKP dan LIPI sebagai upaya bersama pengembangan ikan hias di Indonesia. Alamat: Jalan Raya Bogor, Jakarta KM 47 Nanggewer, Cibinong http://lipi.go.id/berita/raiser-ikan-hias-cibinong-momentum-kebangkitan-bisnis-ikan-hias-indonesia/388 Sukamandi, Subang 2017 Momentum membahagiakan dan memberi motivasi bagi diri sebagai abdi negara saat mendampingi Staf Khusus menjadi pembicara di Balai Diklat Aparatur (BDA) Sukamandi, Subang.   Tempat ini juga merupakan salah satu balai riset KKP untuk penelitian udang galah, ikan lele mutiara, ikan nila srikandi, ikan mas mustika, ikan patin pasupati, gurame, dll. Lokasi: Patoek Beusi, Subang Pak Yunus dan induk lele 5 kg Pak Zulfikar dan Pak W

Kelas Inspirasi Bojonegoro, 2 Mei 2016

Daerah, bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan di Indonesia. Sarat dengan problema. Tidak jarang konflik timbul antara pusat dan daerah. Termasuk masalah pembangunan bidang-bidang fundamental salah satunya pendidikan. Pasalnya, belum banyak yang menyadari bahwa sedemikian pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Bukan hanya kognitif semata, tapi afeksi, moral dan pendidikan dalam pelajaran hidup lainnya. Hati ini yang menggerakkan untuk melangkahkan kaki menuju Bojonegoro, di hari pembuka di bulan Mei yang lalu. Tiba di Surabaya pk 07.00 setelah pagi hari saya mengambil flight pagi dari Soekarno-Hatta, saya naik bus Damri dari bandara Juanda menuju Bungur, sampai di Bungur pk 8.15. Di Bungur, saya mengambil bus jurusan Bojonegoro. Perjalanan hari itu sangat menyenangkan, tidak terlalu ramai, naik bus di daerah yang cukup asing buat saya, tapi saya sungguh sangat menikmatinya. Menyenangkan sekali naik bus antar kota di Jawa Timur. Saya tiba di termi