Pernahkah
membayangkan hidup dalam selimut kabut asap atau bangun dengan rasa sesak di
sekujur tubuh? Inilah realita yang sungguh dirasakan oleh sanak saudara kita di
bumi lancang kuning, provinsi yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatera,
Provinsi Riau. Kalau dulu kita mengenal
Riau sebagai ladang minyak tanah air, kini dapat dikatakan pujaan itu sirna
oleh kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Sedih tentu kita semua
rasakan, tidak hanya masyarakat Riau, tapi seluruh warga Indonesia. Asap yang
membubung dan ‘menghiasi’ Riau dalam beberapa bulan terakhir menghantui
masyarakat, membuat mereka semakin resah akan kejadian itu.
sumber foto:
Berdasarkan
laporan tim audit kepatuhan hukum kebakaran hutan dan lahan di Riau, dari 5
perusahaan perkebunan tergolong sangat tidak patuh, dari 4 tergolong tidak
patuh. Perusahaan kehutanan, dari 12 perusahaan yang diaudit 1 perusahaan
tergolong sangat tidak patuh, 10 perusahaan tergolong tidak patuh dan 1
perusahaan tergolong kurang patuh. Penilaian juga dilakukan pada Pemerintah
Kabupaten dan Kota, bahwa dari 6 kabupaten dan kota, 1 kabupaten patuh, 1
kabupaten cukup patuh, dan 4 kabupaten kurang patuh. Hal ini diperoleh dari ringkasan eksekutif Audit Kepatuhan Dalam
Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau 2014. Kriteria tersebut tentu dibuat
dari beberapa aspek antara lain aspek sistem dan kelembagaan; aspek sarana
prasarana dan sumber daya manusia; serta aspek biofisik dan sosial
kemasyarakatan.
Pada
periode 2 Januari-13 Maret 2014, terindentifikasi 12.541 titik panas di lahan
gambut (93,6% dari seluruh titik panas) di seluruh provinsi Riau. Dalam periode
itu, titik panas tertinggi terdapat pada tanggal 11 Maret 2014 yakni sebesar
2049 titik panas. Hal ini tentu menimbulkan dampak yang luar biasa. Ringkasan
eksekutif Audit Kepatuhan Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di
Provinsi Riau 2014 memuat keterangan dari Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi
Riau, setidaknya lebih dari 30.000 warga Riau terkena Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA), radang paru-paru, iritas mata dan kulit.
Padahal
lahan gambut memiliki fungsi ekologis yang penting. Selain sebagai ekosistem
penyangga kehidupan, pengatur hidrologi, suplai air, dan pengendali banjir,
gambut sendiri berfungsi habitat dan sarana konservasi keanekaragaman hayati,
serta sebagai pengendali iklim global (melalui kemampuannya dalam menyerap dan
menyimpan karbon). Betapa berharganya lahan gambut kita.
Sekelompok
masyarakat telah mengadukan apa yang mereka rasakan, sebuah plaform aspirasi online menuangkan ide warga yang menginginkan
bapak Presiden blusukan ke Riau, ikut merasakan hujaman asap yang kian
mengganggu pernafasan mereka. Apakah kemudian dengan Bapak Presiden Joko Widodo
datang kemudian akan selesai persoalan kebakaran hutan dan lahan yang cukup
pelik ini? Akankah ada solusi yang ditawarkan? Tidak hanya aksi online tersebut, banyak gerakan lain yang telah dilakukan para pegiat lingkungan.
Kebakaran
hutan gambut yang sudah terjadi selama lebih dari satu dasawarsa ini, membuat
masyarakat menderita gangguan kesehatan. Berdasarkan laporan tim Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan, tercatat ada beberapa
masalah kesehatan yang mengancam salah satunya efek kabut asap yang menyebabkan
iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi,
peradangan, dan juga infeksi. Sampai kapan hal ini akan terus terjadi?
Mungkin
kita tidak terlalu menaruh perhatian pada masalah ini karena dampaknya tidak
secara langsung kita rasakan atau kita yang kurang peka pada hak-hak yang kita
miliki tentang lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kalau dilihat lebih
lanjut, hubungan hak asasi manusia dengan lingkungan hidup sangat erat
kaitannya. Hak kita yang sudah dipayungi oleh konstitusi. Hak untuk menikmati
lingkungan hidup yang sehat adalah salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Dalam
Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 termaktub “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Maka, negara menjamin adanya pemenuhan hak manusia akan lingkungan hidup.
Mimin
Dwi Hartono, Staf Komnas HAM dalam tempo
online menyebutkan bahwa draf deklarasi “Prinsip-prinsip HAM dan Lingkungan
Hidup yang dibuat atas inisiatif Pelapor Khusus HAM dan Lingkungan Hidup PBB,
Fatma Zohra Ksentini, di Jenewa, Swiss, pada 1994 merupakan instrumen
internasional pertama yang secara komprehensif mengaitkan HAM dan lingkungan
hidup”. Dengan adanya keterkaitan tersebut, hak asasi lingkungan hidup wajib
dijunjung untuk mewujudkan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman bagi semua
orang tanpa kecuali. Maka, disamping hukum nasional, ada juga instrumen
internasional yang mewadahi hak kita ini.
Hak
untuk berpartisipasi dan hak atas pembangunan juga erat hubungannya dengan hak
atas lingkungan ini. Namun, kemudian menjadi paradoks, pelestarian lingkungan
hidup dan pembangunan yang digadang-gadang sebagai garda terdepan untuk
meningkatkan persaingan dalam pasar global. Sumber daya alam yang
dieksploitasi, hutan-hutan yang dibakar dan digantikan lahan sawit atau tempat
penambangan, dan sejuta bentuk kegiatan yang sejatinya dapat merusak alam sebagai
dalih untuk meningkatkan produksi dan mengarahkan pada kemajuan ekonomi.
Upaya
yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, bisa dimulai dari
diri sendiri. Lingkungan hidup sejatinya bukan hanya digunakan manusia untuk
memuaskan kebutuhannya, tetapi juga manusia menganggap lingkungan dan alam
semesta ini memiliki nilai yang berharga. Sonny Keraf, Mantan Menteri
Lingkungan Hidup RI 1999-2001 menyebutnya dengan etika biosentrisme.
Penghormatan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak lingkungan harus terus
dijunjung tinggi. Lingkungan harus menjadi subjek dalam penegakan hukum akan
lingkungan hidup, bukan sekadar objek yang terus menerus dihabiskan.
Bumi
Lancang Kuning yang indah ini masih memiliki harapan. Korporasi harus menata
sendiri kewajiban yang harus dilakukan terutama dalam bidang lingkungan hidup.
Pemerintah tegas melakukan kontrol. Praktek korupsi dalam pengelolaan sumber
daya, mafia suap, dan ‘raja-raja’ lainnya yang sering melegalkan prosedur hukum
demi menggerus kekayaan alam mengakibatkan semakin menurunnya kualitas
lingkungan hidup. Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Siapapun yang
melanggar harus ditindak secara tegas. Negara tidak boleh tunduk pada kekuatan
korporasi. Nyatanya berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2009 dan
2010, para pelaku kejahatan lingkungan diproses secara hukum mendapat hukuman
ringan dan sebagian besar dari mereka adalah para pelaku di lapangan.
Namun,
lebih dari itu yang utama adalah tindakan preventif yakni pihak berwenang tidak
boleh mengeluarkan izin disaat prasyarat salah satunya syarat lingkungan hidup
seperti amdal (analisis mengenai dampak lingkungan hidup), izin lingkungan, dan
dokumen perizinan lainnya tidak dipenuhi.
Sejatinya
pengelolaan lingkungan hidup yang baik dilakukan secara berkelanjutan digunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instrumen hukum tentang lingkungan
seperti Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, implementasi yang didukung penegak hukum yang handal, dan
tentunya tidak hanya korporasi dan pemerintah yang perlu mengambil peran. Tapi
kita semua sebagai masyarakat. Kita yang harus selalu merawat lingkungan kita, misalnya
dengan melaporkan jika menemui kegiatan ilegal yang merusak lingkungan, lebih
peka akan sumber daya alam Indonesia yang kaya, karena disanalah generasi
mendatang menggantungkan hidupnya. Pelajari alam, cintailah alam, dan jatuh
cinta berkali-kali untuk alam. Karena alam yang memberi kita arti
kehidupan.
Maria
Anindita Nareswari, 10 November 2014
Komentar
Posting Komentar